3 hari kemudian, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 4 Februari 2020
Bagi siapa pun yang melihat mata segaris gadis berambut ikal seleher di hadapanku yang seenaknya memakai hoodie berwarna kuning cerah di hari terik seperti ini dan menaikkan kaki ke kursi seolah sedang makan di warteg, semua akan sepakat ia seperti baru saja menempuh perjalanan ke kantor setelah selamat dari Badai Katrina. Pipinya yang membulat seperti hamster masih asyik mengunyah kepingan shortbread di salah satu toples di meja, sementara sejak tadi aku sangat yakin ia hanya terbengong-bengong melihat file pekerjaan yang singgah di meja kami hari ini. Atau bisa jadi mata bulan sabit itu terlihat sangat serius memerhatikan layar laptop karena ia tengah mengincar diskon besar yang biasa muncul di hari yang sama dan bulan sama yang merupakan strategi licik e-commerce meraup uang saat tanggal muda.
Apa pun itu, aku berdeham supaya perhatian Veronika teralih sepenuhnya. Cara itu berhasil. Kini ia memandangku dari balik poninya yang acak-acakan. ”Mbak Indi ada ide?”
Aku menggeleng. Bukan berarti aku menganggap diriku lebih senior. Tapi bahkan aku yang lebih dulu bekerja di sini saja tidak tahu, harus diapakan file pekerjaan ini?
“Memangnya hal semacam ini belum pernah terjadi dan dikerjakan di Strategic Planning?”
“Sama sekali belum pernah.”
“Wow,” nada bicaranya berubah datar. “Harusnya gue dapat gelar doktor Power Point kalau berhasil mengerjakan ini!”
Aku tidak menanggapi, tapi tidak juga membantah. Sekali lagi, aku harus berhadapan dengan proyek ambisius Pak Rovindang. Bahkan mengingat-ingat tahun lalu saja aku tidak mau.
Tahun lalu, departemen kami pernah diminta untuk mengerjakan materi e-learning terkait dengan dokumen skenario strategi perusahaan. Tujuannya satu: dalam rangka membuat tim strategi di seluruh departemen memiliki pemahaman agar semua selaras dari hulu ke hilir. Ide ini sendiri bukan berasal dari Pak Rovindang, melainkan dari dewan komisaris yang menganggap bahwa diperlukan suatu cara untuk membuat dokumen skenario strategi ini dimengerti secara menyeluruh agar eksekusi secara operasional berjalan baik.
Sebetulnya ini tidak salah, justru tujuannya baik demi kelangsungan perusahaan. Hanya saja pada saat eksekusi, berdiskusi dari pagi sampai pagi lagi dengan Pak Rovindang benar-benar menguras tenaga, waktu, dan kewarasan.
Tentu saja aku tidak antusias ketika ia sekali lagi menugaskanku untuk ikut serta dalam proyek barunya kali ini. Sebagai orang baru, Veronika jelas mengalami kesialan mutlak. Tidak ada yang mau memegang posisi ini setelah pernah menjadi pemateri modul e-learning tahun lalu. Mungkin itu alasannya ia sengaja mencari-cari anggota departemen yang terlihat menganggur, jadi aku dan Veronika didapuk tugas ini. Benar-benar licik.
Tapi aku tidak mau terlihat kalah hanya karena tidak bisa mengerjakan tugas dengan instruksi seadanya ini. Dari mana aku memulai?
“Kalau Mbak Indi saja tidak paham, apa lagi gue,” Veronika kembali bersuara. “Kita panggil bala bantuan ya, Mbak? Gue malas kalau si Nag –Pak Rovindang mulai bacot gara-gara kita belum punya ide.”
“Tapi…”
Belum selesai aku berbicara, Vero melambaikan tangannya ke arah seseorang yang baru saja selesai sarapan pagi di pantry. “Mas Santan! Mau tanya, dong!”
Lelaki berkacamata kotak itu mengangkat alis, lalu menghampiri meja kami. Tangannya memegang tumbler berisi air. “Telcacell, Veronika,” ia pura-pura mengangkat tangan seolah menelepon. “Halo, Veronika. Ini kok, malah chatbot-nya yang kebingungan sendiri? Padahal harusnya bisa bantu gue bikin materi buat CEO.”
“Ha-ha-ha,” Veronika hanya tertawa tanpa nada. “Soalnya gue yakin Mas Santan juga lebih memilih buat materi CEO speech daripada ini. Makanya gue tanya, biar sekalian kita pusing berjamaah.”
“Ada apa, sih?” Mas Santan, yang sesungguhnya nama aslinya adalah Santana, mengambil kursi kosong, lalu mengintip layar laptop Veronika dan membaca judul file presentasi itu. “Apa ini? Proyek pengukuran transformasi digital?”