2 minggu kemudian, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 7 Maret 2020
“Mbak, Vero, Nika, yuk!”
Gue yang masih berkutat dengan laptop padahal ini sudah siang, mengangkat kepala. Otak gue loading dulu mencerna kalimat Bebe yang baru saja mampir meja gue, dengan latar belakang suara semburan cairan yang berasal dari arah pantry. Javi yang sedang makan siang sendirian terlihat mengelap meja yang berwarna cairan hitam yang agak kental. Tumben amat dia minum kopi. Begitu melihat Bebe mengedipkan matanya sebelah sampai berulang kali kayak yang cacingan, baru gue sadar situasi.
“Ap –apa sih, Beb! Panggil nama orang kok dipenggal begitu, he-he-he,” gue menyisir rambut gugup. Duh sih Bebe, bisa-bisanya pas gue lagi tumben serius kerja malah ajak ngobrol! “Ehem, orang kan bisa salah paham.”
Alis sempurna di atas mata bulat Bebe terangkat dua-duanya. “Lho Mbak, saya beneran ajak nikah, kok. Masa lupa? Kan kita tinggal menentukan tanggal yang cocok sesuai primbon.”
Mampus, tidak kira-kira memang orang ini! Bagaimana kalau orang lain mendengarkan? Memang sih saat ini di sekitarku sedang sepi mengingat sebagian besar karyawan sedang rapat di lantai lain, tapi kan ada Javi! Matanya yang sipit mengarah ke makanan yang ia beli lewat aplikasi ojol dengan hidung mancung berkerut jelas-jelas menandakan bahwa ia pura-pura tidak menguping. Gue langsung berbisik ke telinga Bebe, “Sekarang banget?”
“Terus Mbak Vero bisanya kapan lagi?” tanya Bebe dengan suara tetap seperti biasa. Tangannya merapikan dasi kupu-kupu di kerah seragam office boy, yang entah sudah berapa kali ia sengaja menyentuhnya seolah ia adalah Detective Conan. Nadanya agak merajuk. “Dari kemarin kan sibuk terus.”
Aduh-aduh, meski bukan gue yang dipelototi, gue tahu Javi hanya sedang mencoba berkonsentrasi dengan makanannya. Gue tidak akan heran kalau besok akan muncul gosip pernikahan gue dan Bebe yang tersebar! Melihat level ketidakpekaan Bebe, gue langsung meraih lengan seragamnya dan menyeretnya pergi ke ruang pantry khusus office boy. “Oke, Bebeb! Ayo kita cap cip cup tanggal primbonnya sekarang, gue cek kalender dulu!”
“Mbak, Susan dan Susanto menunggu dengan antusias, lho,” Bebe masih saja menyerocos sepanjang kami berjalan ke sana. Astaga, untung saja ruangan kantor ini sedang lengang. Begini-begini juga, meski gue dan Bebe bisa memahami maksud satu sama lain, belum tentu orang lain bisa langsung mengerti dengan lelucon internal di antara kami berdua. Tanpa itu saja gosip gue dan Bebe sudah melanglangbuana ke berbagai lantai! Mungkin saja sudah jadi bahan perbincangan panas antara CEO dan komisaris saat makan siang.
“Memangnya Susan sama Susanto enggak bisa menunggu lebih lama? Gue lagi sibuk, nih.”
Gue bisa mendengar seperti suara tawa tertahan di kerongkongannya. Gue tahu ia memang mau tertawa. Brengsek memang office boy satu ini, mentang-mentang dia tahu sehari-hari kesibukan gue adalah mengeluh tentang pekerjaan. Baru kemarin gue teror Bebe secara frustasi sambil menggunakan stiker Gudetama sedang malas dengan tulisan “meh” sampai puluhan kali gara-gara gue baru pulang pukul 11 malam. “Sibuk apa, Mbak?”
Gue memutar bola mata. “Serius, Beb, gue lagi mengerjakan revisi versi final yang enggak final-final. Bingung gue juga, ini mau digulung kayak bagaimana lagi sampai bisa disebut beres? Kalau jadi cilor seenggaknya mending, gue bisa jualan di kantor!”
“Makanya saya ajak Mbak menentukan tanggal pernikahan. Saya kasihan sama atasannya Mbak Vero,” jawab Bebe sok bijak.
“Lho, kok lo malah kasihan sama si Naga? Gue enggak dikasihani ceritanya?”
“Ya kalau sejak awal meminta karyawan berkapasitas Windows 95 bekerja, memang bakal lambat, Mbak. Tergulung-gulung terus.”
“Jadi maksud lo gue yang lemot, haaah?!!” Gue langsung mengejar Bebe yang berupaya menghindar dengan menghalangi gerakan tangan gue yang hendak menjewer telinganya. Buset yak, bahkan menghindar dari gue saja gayanya kayak lagi catwalk di fashion week!
Bebe membuka pintu pantry office boy yang kosong melompong. Sepertinya yang lain sedang sibuk mengantar jemput makanan untuk para karyawan. “Refreshing dulu, Mbak Vero. Hirup udara artifisial dalam-dalam. Embuskan. Ulangi terus sampai tahu-tahu besok kiamat.”
“Lo baru operasi bedah otak, ya? Kok tahu istilah begituan? Dari mana?”
“Saya kan suka beli bala-bala dari Bang Jali! Kertas bungkus selalu saya baca. Oh ya Mbak, kenalan dulu, yang ini Susan. Ini Susanto,” Bebe mengambil kedua buah pot mini kaktus yang bahkan gue tidak tahu bagaimana cara membedakan jenis kelaminnya. Gue hanya menganga memandang ujung tajam dari masing-masing kaktus. Astaga. Jadi inikah kedua jenis tanaman yang ingin ia nikahkan?
Kemarin setelah gue meneror Bebe, tiba-tiba saja ia mengatakan ingin membuat pernikahan sederhana. Gue yang sempat keselek membayangkan pasangan Bebe, langsung meledeknya. Tapi ternyata oh ternyata, pernikahan yang ia maksudkan itu adalah tanaman-tanaman yang memang ia sengaja taruh di pantry. Kadang-kadang gue memang melihat Bebe begitu telaten mengurus tanaman di halaman kantor, mulai dari tanaman asli hingga tanaman plastik. Tidak gue sangka hobinya ini malah membawa gue ke sini, hanya karena gue penasaran. Sungguh me-mind blowing-kan sekali office boy satu ini.
“Terus menentukan tanggalnya itu bagaimana?” tanya gue. “Mau diapakan?”
“Itu yang bikin saya bingung, Mbak. Karena bagaimana pun saya juga harus menyiapkan hidangan juga.”
“Hah?! Bukannya lo kayak tinggal menyetek atau penyerbukan atau semacam itu? Lo mau kasih prasmanan buat kaktusnya? Gimana caranya?!!”