18 Maret 2020
Bencana yang tidak diinginkan akhirnya terjadi. Sekarang seluruh dunia mengalami kekacauan yang terjadi akibat patogen tak kasatmata yang mampu membuat heboh masyarakat seperti menghadapi kiamat. Himbauan untuk tetap tinggal di rumah saja sudah digembar-gemborkan oleh pemerintah. Status negara yang asalnya tenteram tidak mempedulikan hari pengadilan Tuhan meski mencurangi uang rakyat setiap hari, kini sudah menjadi katastrofe.
Kemanusiaan memang seringkali baru memperlihatkan wajah aslinya di masa seperti ini. Manakah setan, manakah manusia? Sulit sekali membedakan. Sifat sejati seseorang bisa terungkap dengan sangat jelas bahkan tanpa perlu mengorek lebih dalam.
Cukup melihat tabiat buruknya saat melaksanakan video conference. Cukup dengan menyaksikan fenomena “panic buying” yang melanda hampir seluruh manusia yang membanggakan derajatnya yang jauh lebih berakal dari binatang. Cukup dengan menonton drama netizen yang gratis melalui story yang menyanjung dokter yang sangat kewalahan dengan menipisnya produk akibat kelangkaan dan menghujat siapa pun yang memiliki standar alat pelindung diri atau APD sebelum pandemi tanpa memikirkan alasan seseorang bisa memiliki benda yang kini harganya melambung tinggi layaknya emas Antam.
Bukankah manusia itu memang sangat kotor?
Karena alasan itu pula aku punya ketertarikan khusus dengan teori perilaku. Kepanikan, ketakutan, ketidakpastian yang menghantui menjadi momok baru yang tingkatannya jauh daripada melihat kuntilanak cekikikan di samping tempat tidur di malam hari. Dengan isolasi yang menjadi kewajiban dilakukan semua pihak, hari demi hari yang terlewati penuh kecemasan seolah esok hari terakhir.
Fenomena global ini menjadi saksi mata tisu toilet yang langsung laku begitu toko dibuka, alat pembersih yang habis dalam sekejap diborong para ibu dan ayah, hingga masker wajah yang berubah menjadi burung Dodo selama berminggu-minggu.
Lalu sudah menjelma jadi apa manusia yang dahulu mengejek niqab?
Sudah menjelma jadi apa manusia yang dahulu merundung para penderita yang memiliki gangguan obsesif kompulsif?
Sudah menjelma jadi apa manusia yang memandang sebelah mata introvert yang terbiasa dan bisa patuh mengisolasikan diri dari kebodohan keturunan Adam setiap hari?
Bukan hanya dunia ini saja yang menuju kehancuran. Kemanusiaan sudah robek, tercabut dari akarnya. Semua kebaikan yang terlihat hanya pemanis dari kebobrokan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat.
Konektivitas internet yang menyambungkan sekaligus menghancurkan silaturahmi menjadi alat dagang laris manis sebagian kecil pihak. Mau bagaimana lagi? Dunia pun berbalik ramah terhadap kepemimpinan visioner, lalu membalikkan punggungnya terhadap juragan otokratis.
Lucu juga melihat para bos memisuh setelah lagi-lagi berhasil dilampaui oleh perusahaan teknologi besar yang pencapaian penghasilannya meroket tinggi. ReDragon, kendaraan utama kantor kami sudah ditunggangi dengan cerdasnya oleh para pemain layanan over-the-top. Kedengkian sudah menjadi syarat mutlak yang mewujudkan pembenaran dalam dunia bisnis, seperti tuduhan spionase yang diembuskan oleh beberapa perusahaan telekomunikasi global akhir-akhir ini terhadap perusahaan teknologi besar Cina terkait pengembangan teknologi 5G. Entah jebakan atau bukan, yang pasti akan selalu ada yang diuntungkan dengan investasi yang mengalir ke kantong-kantong lain yang juga memiliki tujuan menjadi perusahaan terbaik dalam penggelaran 5G.
Namun tetap saja rencana mengemis remah-remah masih dilakukan agar bertahan hidup, karena hanya itu yang bisa dilakukan si pengecut terhadap hukum jagat maya. Untuk itu aku sampai tidak bisa mengangkat pantat berhari-hari dari kursiku di kamar indekos yang masih di Kota Bambu Selatan. Meski aku tidak sudi mengakuinya, aku yang menjadi si pengecut dalam lakonku sendiri masih belum sanggup pindah agar bisa bertahan di jagat rayaku sendiri. Aku sudah tidak mungkin lagi pulang ke rumahku yang lama.