10 hari kemudian, Kota Bambu Selatan, Jakarta Barat, 28 Maret 2020
Kemalasan yang ditunjukkan dalam bentuk ruang tamu masih sekacau kemarin malam adalah suatu hal yang menjadi gangguan menjengkelkan dalam hidup. Ini bukan tentang kemarahanku karena di Senin malam kami tetap harus bekerja dan melakukan video conference dengan seluruh anggota departemen yang bisa berlangsung berjam-jam. Bukan juga karena curhatan Pak Rovindang menghadapi hari mempertahankan pendapat di depan para petinggi lain yang memiliki kepentingan sama dan berbeda, sehingga jadwal meeting yang seharusnya selesai pukul 10 malam, menjadi mundur sampai lewat tengah malam.
Bukan. Aku bisa memilah keberanganku untuk berbagai hal, dan aku sadar diri bahwa jenis sirap hati apa pun perlu diklasifikasikan berdasarkan akar masalah. Aku tahu bahwa Sabtu sudah bukan menjadi hari merah di kalender dan malam Senin akan selalu jadi agenda rutin bertatap muka untuk memulai pekerjaan lebih awal mengingat tagar “HomeLivesMatter” sudah menjadi doktrin di layar gawai dekat dengan lambang sinyal Telcacell, sehingga ini bisa menjadi alat pemuas bagi bos yang bosan di rumah saja. “Meeting kan bisa di mana saja sekarang,” begitu selalu pembenaran Pak Rovindang.
Veronika dan aku memang tidak bisa tinggal di satu tempat yang sama.
Aku tidak keberatan dia jauh-jauh dariku ketika di kantor, ketika ia memutuskan duduk di sebelah Javi. Lokasinya sangat strategis untuk bisa sewaktu-waktu pulang tanpa peringatan ketika waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, mengingat Pak Rovindang jarang menggunakan pintu area resepsionis untuk bermondar-mandir menghadiri rapat.
Kami tak perlu jadi teman meski jenis kelamin sama dan hanya ia satu-satunya di departemen yang bisa disebut perempuan. Tapi ini berbeda. Setiap hari. Setiap menit. Setiap detik, aku mungkin saja akan berhadapan dengan muka yang sama lagi, lagi, dan lagi.
Muka sialan itu malah mengigau dengan kepala terkulai ke samping dan kaki hampir jatuh di sofa, dengan selimut tipis yang tiba-tiba saja seperti terbang ke ujung ruangan. Bekas makan semalam ketika ia order dimsum masih belum dibereskan. Laptop itu setengah tertutup, dengan baterai yang masih menyolok dan hampir saja aku tersandung kabelnya ketika melangkahkan kaki pagi ini saat keluar kamar.
Kalau saja ia bukan nona pemilik rumah, sudah kutendang Veronika ke tengah jalan komplek!
Aku tidak sudi sama sekali menepuk lembut supaya ia bisa bangun. Kutendang saja kakinya beberapa kali sampai ia tiba-tiba terjatuh sendiri ke lantai yang dingin.
Dengan muka terjerembap ke lantai, rasanya bisa kudengar suara krak tertahan entah dari tulang bagian mana. Aku memutar bola mata.
“Swiper-jangan-mencuri, yassalam!” Bukannya segera bangkit, mukanya yang masih menghadap lantai putih tiba-tiba berubah warna menjadi merah. Mimpi apa dia sampai mengigaunya separah itu? Astaga. Apa itu darah?
“Vero.” Aku terpaksa iba dengan makhluk ini, sehingga yang kulakukan adalah berjongkok melihat kondisinya. Secepat itu juga ia menegakkan leher hingga darah yang merembes dari hidung dengan deras segera teratasi setelah mengangkat kepala dan tubuh hingga menghadap ke depan. Ia segera memencet hidungnya. “Hahu behin! Hahu behin!”
“Ya?”
“Hahu behin! Haa – Haa – ” Veronika tampak bingung sendiri. Kedua kakinya berjoget panik sampai tak sengaja menginjak darah dan terpeleset. Bagaimana ceritanya bisa begitu? Untung juga kepalanya hanya membentur bahu sofa yang empuk.
“Diam di situ!” Aku membentaknya seraya berkacak pinggang, mendesah kesal, lalu beranjak ke dapur untuk mencari lap bersih sebagai kompres.
Tentu saja bukan ini keajaiban yang pernah terjadi padaku ketika terpaksa jadi babysitter Veronika. Aku juga pernah membantunya mengeringkan pakaian dengan alat setrika uap di kantor kala ia kehujanan saat baru saja main ke mall di waktu makan siang. Pernah juga ikut mencari tempat menjemur kemejanya ketika ia tidak sengaja menumpahkan saus wafel, sampai harus kugantung di langit-langit dengan harapan bahwa air conditioner bisa mempercepat proses pengeringan setelah menggunakan alat setrika uap.
Mengapa pula hidupnya bisa sekacau dan seajaib itu?
Begitu aku kembali lagi ke ruang tamu, kulihat Veronika menekan satu hidung dengan tangan kiri dan tangan satu lagi sedang memegang gawai, membaca sesuatu. Ia mengerang.
“Ha Inhi, aha mithing laghi. Aaaah, padhahal baru helehai~~” Veronika mengetuk-ngetuk kaki seperti balita yang merengek tidak dibelikan mainan. Aku mengulurkan kompres. Ia melempar gawainya sembarangan ke sofa, menyambut kain dingin di tanganku untuk menutupi hidungnya.
“Kamu baru baca grup chat?” tanyaku. Gadis berpipi moci itu mengangguk. Secara otomatis aku menghela napas, berupaya menghindari kabel laptop yang masih belum dibereskan, lalu kembali ke kamar. Veronika benar. Untuk apa pula ada meeting lagi setelah ini? Bukankah pekerjaan kami baru saja mendapat persetujuan akhir kemarin malam?
Grup Carbonara
Santana Kartika
Hi guys, cuma mau bilang… makasih banyak ya, akhirnya kerjaan
kemarin di-approve Pak Rovindang
Hudea Asipattra
Sebat dulu bisa lah
Rifan Hidayat
Kirain Hudea sudah tobat, sindrom #HomeLivesMatter nih pasti wkwk
Hudea Asipattra
Harusnya dibayarin Mas Santan nih, gw kan diseret masuk grup tiba-tiba
Santana Kartika
Loh, keroyokan itu biar urusan cepat beres. Duh jadi pengen dikerok, kan
Javi Alan Ramondo
Tapi ini beneran beres nih Mas @Santana Kartika? Enggak ada vidcon nanti
malam?
Santana Kartika
Beres dong
Hudea Asipattra
Asyik
Santana Kartika
Tapi vidcon tetap ada
Hudea Asipattra
Lah
Javi Alan Ramondo
Anying