8 hari kemudian, Kota Bambu Selatan, Jakarta Barat, 18 April 2020
Gue belum pernah masuk neraka. Bayangan tentang neraka selalu tampak blur di bayangan gue mengingat ajaran tentang surga dan neraka selama ini hanya gue tahu dari kitab suci dan buku pelajaran semata. Di mana letaknya? Seperti apa wujudnya? Bisakah gue guling-guling ke sungai kalau malas jalan lalu tinggal menyeruput manisnya sungai khamr di surga? Ataukah Tuhan lebih suka menggiling gue di mesin cuci bernama Jahanam setelah membaca daftar kelakuan gue di dunia, menganggap bahwa perlu ada pencucian dosa dengan deterjen dari kerak neraka?
Bayangan tentang neraka langsung kongkret berkat komik seri berjudul “Siksa Neraka” yang pernah gue baca dulu saat taman bacaan di sekitar komplek masih menjadi tren. Lebih tepatnya, Kak Maya yang malah iseng meminjam komik itu dari sana. Dipikir-pikir, kayak tidak ada komik lain yang menarik saja.
Sebagaimana layaknya anak bungsu yang memiliki panutan berjenis kelamin sama, gue yang masih kelas 4 SD punya hobi menggerataki kamar kakak yang selalu membuat kami bertengkar hampir setiap hari. Suatu ketika, Kak Maya mengadukan kelakuan gue pada Ibu karena suka mengambil cemilan sosis siap makan dari toples miliknya. Tentu saja gue berkelit bahwa gue hanya meminjam, sehingga kalau harus dikembalikan dia punya dua pilihan: lewat mulut atau lewat dubur. Namun Ibu malah membela Kak Maya dan menghukum gue dengan rencana memotong uang jajan.
Saat mengendap-ngendap masuk ke kamarnya untuk mencari ide pembalasan, gue menemukan beberapa buku tipis dengan visualisasi mirip dengan komik Amerika. Tanpa pikir panjang, langsung saja gue ambil dan baca diam-diam di kamar sendiri.
Ampun deh, dari sampulnya saja sudah bikin bulu kuduk merinding! Ada begitu banyak ilustrasi mengerikan yang tidak pernah terbayang oleh gue sebelumnya. Gue hanya tahu bahwa manusia pendosa disiksa di neraka. Titik. Namun aneka kengerian seperti orang disetrika, terbakar di api berkobar, disiram cairan tembaga panas… astaga, astaga. Gue baru sadar kakak sendiri ternyata punya hobi bermain-main dengan azab.
Ketika gue buka lagi halaman selanjutnya, langsung saja gue menjerit-jerit setelah membaca siksaan terhadap manusia yang suka berbohong berupa lidah yang tergunting. Sewaktu Ibu mengecek ke kamar, dia tentunya tak kuasa menahan tawa melihat gue yang memakai mukena tengah banjir mata sedang mengorek-ngorek celengan untuk mengganti rugi sosis punya Kak Maya.
Kenangan itu tentunya tak akan pernah terulang lagi, mengingat:
1) Gue bersumpah tidak akan iseng mengintip kehidupan orang lain, termasuk Kak Maya yang ternyata jadi doyan baca majalah Hidayah setelah mengisengi gue dengan komik ahli neraka.
2) Gue mendapat pencerahan mengenai persosisan setelah mencoba sosis ala Jerman. Ke mana saja selama ini dirimu, wahai Mr. Bratwurst? Baru mampir kok pas gue masuk SMP!
3) Sudah tidak ada lagi Ibu yang akan menepuk-nepuk kepala gue sambil menasehati tentang komik “Siksa Neraka.”
Setelah dewasa, gue tidak menyangka bahwa neraka itu bisa beragam rupanya. Ternyata oh ternyata, beginikah bentuk neraka di dunia?
Gue kira pekerjaan kami “SUDAH TAMAT” ketika kami menjelaskan konsep penilaian transformasi Run Digital pada pasangan Silaban akhir bulan kemarin. Lalu ini apa yang gue kerjakan sekarang, hah?! Mengapa gue malah ikut-ikutan jadi panitia dalam ajang kuis berhadiah gengsi dan kehormatan?!
Ini seharusnya menjadi pekerjaan departemen Corporate Transformation! Bukankah embel-embel judulnya saja sudah jelas? Ketika akhirnya Telcacell berupaya untuk menjadi perusahaan telekomunikasi yang go digital tahun lalu, departemen ini akhirnya terbentuk. Itulah awal mulanya Bu Nariti yang semula menjadi vice president di departemen Project Management, akhirnya menaiki tahta yang bisa dibilang sangat penting. Keputusan apa pun yang keluar dari departemen ini menguasai hajat hidup karyawan dan perusahaan secara keseluruhan. Bahkan Pak Rovindang saja harus manut. Astaga, astaga. Ini baru definisi suami takut istri yang sesungguhnya.
Tapi yang namanya budaya, kalau sudah jadi tradisi, akan sulit sekali diubah. Seperti yang pernah dikatakan Mas Santan dahulu: jika bisa dikerjakan keroyokan, ngapain bagi-bagi tugas?
Jadilah gue sekarang tumpang tindih kerjanya. Setiap hari gue harus bisa menyesuaikan jadwal sebagai panitia sekaligus mengerjakan tahapan awal dokumen strategi perusahaan. Belum lagi kalau ternyata harus meeting paralel. Dikira gue protozoa yang bisa mengkloning diri sendiri? Kalau memang benar protozoa, mending gue memamah biak saja di dalam perut sapi, hidup santai tiap hari dari pakan rumput!
Makanya gue berupaya sebisa mungkin tidak baca grup ketika mereka mulai rutinitas ibadah lancar maksiat jalan: sambil bekerja, mari ngeghibah. Heran juga gue, kok malah laki-laki yang doyan julid. Makhluk model begini nih, yang bikin hari kiamat sudah dekat. Ah sudahlah, bodoh amat. Membaca percakapan ghibah kan tidak bikin gaji gue dipotong?
Grup Carbonara
Santana Kartika
Daftar pertanyaan #weekenduntuknegeri sudah masuk collab?
Rifan Hidayat
Barusan sudah upload. Mas, ini nyorot enggak pake Whatsapp versi web lagi
kan?
Santana Kartika
Kagak, aman. Silakan yang mau nambah dosa, eh. Maksud gw yang mau
fokus diskusi, dipersilakan
Hudea Asipattra
Zonk banget kemarin anjir, hahaha
Javi Alan Ramondo
Ngakak nying
Rifan Hidayat
Wes lah, manusia itu tempat salah dan lupa
Santana Kartika
Untung curcolan lo cuma sepotong, Rif, yang tersorot di vidcon
Hudea Asipattra
Komen rumah tangga mereka masih harus scroll lagi ke atas. Santai
Rifan Hidayat
Tapi Bu Nariti ngeh, barusan ngehubungin
Santana Kartika
Hah, kok bisa?
Rifan Hidayat
Maksudnya dia ngeh sama kita… bukan ghibahan rumah tangganya
Javi Alan Ramondo
Mau diapain lagi sama ibunya??
Rifan Hidayat
Cek aja Telcapay masing-masing…
Hudea Asipattra
Siplah. Gitu dong
Javi Alan Ramondo
Tapi gw masih penasaran sama yang kemarin. Benar @Santana Kartika?