Tukang Kipas Naik Naga Indosiar

Rury R&B
Chapter #16

Catatan Indita: The Midst of Chaos

2 minggu kemudian, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 8 Juni 2020

Jika pagi di masa awal pandemi selalu kumulai dengan membaca rapalan tertentu demi bisa sabar menghadapi Veronika setiap hari, kini aku bisa sedikit bernapas lega dengan sistem kerja yang baru.  Sesungguhnya aku paham benar bahwa pengaturan semacam ini hanya menguntungkan satu pihak: Pak Rovindang.  Tanpa ingin mengakui, aku juga lega bisa menjaga jarak sementara waktu dari seseorang yang mau tak mau kusebut penanggung jawab indekos. 

Seperti biasa, kasak-kusuk mengenai pengaturan work from office sudah digosipkan di forum tertutup.  Tentu saja pusat pergosipan itu ada di Grup Carbonara, mengingat Mas Santan bisa dibilang merupakan tangan kanan Pak Rovindang.  Alasan kami masuk kantor lebih cepat tentu saja bukan hanya sekedar mematuhi tata kelola  yang kami ajukan pada HR agar segera dikaji, melainkan menemani Pak Rovindang bekerja.  Ia tak suka bekerja sendirian, mengingat hobinya mengobrol sulit tersalurkan.

Sudah jadi rahasia umum bahwa ia kerap melontarkan sindiran tertentu terhadap orang-orang yang suka pulang tepat waktu.  Memangnya sudah berapa kali aku mendengar ia menyindir Veronika dan Hudea?  Tak perlu kuhitung.  Ia selalu mengatakan bahwa kami memiliki ninja sebagai anggota tim.  Mereka adalah dua makhluk paling getol  menghilang dari mejanya tepat pukul 5 sore. 

Meski ia partner yang menyebalkan, aku tidak bisa menyalahkan Veronika sepenuhnya.  Cara kerjanya sporadis dan kacau ampun-ampunan, tapi ia tak pernah teledor menyetor tugasnya.  Entah bagaimana cara otaknya bekerja, sungguh aku tak ingin tahu.  Hanya saja aku tidak memiliki pandangan yang sama dengan atasanku sendiri mengenai jam kerja.  

Ketika kami memulai kajian mengenai flexible working,  ia selalu mempertanyakan berulang-ulang mengenai kepastian bahwa kerja di kantor setiap hari sudah tidak lagi memungkinkan.  Bukankah itu suatu fakta yang tak mungkin terbantahkan?  Bahkan dengan adanya data dari konsultan yang kami sediakan dan valid,  Pak Rovindang selalu berulang kali menekankan bahwa Strategic Planning tidak boleh sampai memberikan data yang salah pada Pak Alesandro.  Ia tetap berusaha membuat kami mencari informasi  yang tidak pernah eksis.  

Di awal, caranya berbicara dengan membuat pertanyaan yang bersifat menguji akan terlihat mentereng.  Wibawanya terkesan sangat mewah karena sering mengajukan pertanyaan saat melakukan kajian.  Mas Santan saja manggut-manggut ala perkutut tanpa berusaha berargumentasi balik.   Namun bagiku itu pertanyaan yang layak masuk kategori limbah berbahaya, perlu tergiling di recycle bin tanpa terdaur ulang.  Kalau Pak Rovindang ingin mengada-ngada, sekalian saja cantumkan sumber data yang berasal dari imajinasinya sendiri.   

Bukan berarti aku tidak ingin bekerja lagi di kantor secara normal.  Ada beberapa kondisi yang memang lebih baik didiskusikan tatap muka secara langsung daripada melalui video conference.  Tapi dengan kasus peredaran virus yang semakin meningkat, mungkinkah kita bisa  di kantor detik ini juga tanpa perlu batasan sekat dan masker penutup muka?  Apakah tetap perlu bekerja dari pagi hingga pagi seperti kegemarannya sebelum pandemi ada?

Setidaknya dari bacaan mengenai Flu Spanyol yang sempat melanda bumi ratusan tahun lalu, aku jadi bisa membuat gambaran betapa sulitnya kembali lagi normal sesegera mungkin.  Meski perkembangan teknologi lebih baik di masa ini, belum ada standar definitif untuk vaksin.   Proses pembuatannya sendiri tidak bisa segera langsung diimplementasikan begitu saja.  Vaksin yang akan tercipta kelak merupakan generasi yang masih rapuh, masih belum teruji benar kelayakannya di realitas.  Butuh waktu jika memang ingin kondisi segera pulih seperti sebelum pandemi. 

Maka kesimpulanku mengenai keegoisan Pak Rovindang sudah pasti berdasar.  Ia bukan orang yang bisa menerima kenyataan dengan mudah.  Karena jika bisa, untuk apa dirinya menyumpah serapah di forum internal mengenai kelakuan lawan-lawan politiknya?  Aku berani taruhan mengenai sebuah kemungkinan mengenai alasannya bekerja di Jakarta:  ia memiliki masalah pribadi pelik.  Dibanding rumahnya di area Cibubur, kantor justru pelipur lara ketika tak bisa menyelesaikan konflik dengan internal rumahnya.  

Lalu apa buktiku mengatakan semua itu?  Simpel.  Aku mendengar dan melihat sesuatu yang tak seharusnya kuketahui siang ini.  

Lihat selengkapnya