11 Juni 2020
Sesungguhnya gue sudah capek. Capek banget disuruh-suruh sama atasan. Gue pengen cuti dengan alasan lelah menghadapi ulah bos, tapi bisa-bisa gue dipecat. Masalahnya, gue belum ingin memecat diri sendiri secara tidak hormat mengingat mencari pekerjaan di masa pandemi sama mustahilnya dengan mengeluarkan kencing lewat hidung.
Apa lagi ketika gue mendengar kabar bahwa gue kemungkinan akan dihadiahi dua keponakan kembar oleh Tuhan tak lama lagi. Mampus kuadrat. Gue bukannya tidak senang ketika Kak Maya menelepon gue kemarin. Tapi makin jelas saja bahwa gue tidak bisa lagi mundur seenaknya dari pekerjaan mengingat Kak Maya pastinya akan lebih mengutamakan kedua calon anaknya ketimbang gue. Begini-begini juga gue tahu diri.
Awalnya memang gue hanya iseng saja saat menanyai Imam mengenai potensi mutasi ke tempat lain. Lama-lama gue seperti terobsesi. Gue mulai rajin melihat-lihat database curriculum vitae gue yang tidak seberapa canggih untuk mencari celah supaya HR melirik gue pada masa sidang jabatan berikutnya. Bukankah perusahaan ini sedang ingin bertransformasi? Siapa tahu daftar pengalaman gue cukup berguna agar bisa membuat gue mutasi dan bekerja di bawah Bu Nariti, kan?
Jadi ternyata ada gunanya gue tidak ingin bekerja di bawah orang lain, alias freelancer, di masa lampau. Alasannya simpel, gue lebih suka mengatur jadwal kerja sendiri. Lagi pula gue tidak perlu keluar rumah terlalu sering untuk bertemu klien lokal kecuali untuk presentasi. Gajinya lumayan tinggi kalau gue bisa “melelang kemampuan” pada klien luar negeri, meski tak jarang juga gue bisa sepi order karena pekerjaan semacam ini memang tidak selalu menghampiri setiap saat. Maka jika dirata-ratakan perbulan, tentu saja hanya cukup menghidupi diri sendiri sehari-hari.
Rasanya itu juga yang membuat gue dilirik oleh Telcacell hingga bisa direkrut melalui Linkedin. Ya, bukan gue yang sengaja melamar ke Telcacell. Mereka yang ingin gue ada di sana. Lah, sekarang gue merasa disia-siakan setelah masuk! Bukankah seingat gue wawancaranya untuk menjadi karyawan di ranah IT?
Tapi kalau gue ingat-ingat kembali, kemungkinan besar alasan mereka menaruh gue di Strategic Planning diakibatkan paper yang gue pernah kerjakan semasa kuliah dulu. Paper tersebut pernah gue presentasikan di konferensi internasional atas desakan dosen pembimbing yang ingin jadi banci tampil di Singapura. Paper itu tidak akan pernah diciptakan tanpa keberadaan skripsi yang butuh waktu satu setengah tahun penyelesaian supaya dosen pembimbing bisa sampai mau tanda tangan persetujuan untuk hadir di sidang. Skripsi itu memang bisa dibilang fenomenal mengingat temanya memang masih sangat baru di zamannya. Jadi kekampretan ini yang membuat gue mendarat di Telcacell bermula dari keapesan gue tidak kebagian dosen pembimbing favorit dan malah berakhir di tangan si banci tampil.
Yah… siapa tahu ternyata kesialan ini berguna suatu hari nanti. Jadi selain memoles curriculum vitae kantor, gue menambahkan detail lain di Linkedin dan juga mencoba mencari jalur lain dengan membiarkan orang lain melihat potensi #opentowork yang gue sematkan di foto. Siapa tahu kan, ada perusahaan selain Telcacell melirik curriculum vitae dan membajak gue masuk perusahaannya?
Tentunya kesempatan untuk bisa segera hengkang dari sini tidak akan bisa datang begitu saja. Harus bersabar. Hal yang gue baru ketahui setelahnya, kesabaran gue makin diuji di momen berikutnya.
Pengumuman mengejutkan datang pagi ini. Setahu gue, memang sudah seminggu lebih Mas Rifan mengajukan cuti sakit. Gue sempat khawatir bahwa ia kemungkinan terjangkit virus terbaru, tetapi tak ada kabar lanjutan sama sekali. Bahkan di Grup Carbonara yang lebih sering dipakai julid atau ngomong jorok, sama sekali tidak membahas terkait itu sama sekali. Sepi senyap. Tak ada warta sama sekali.
Tapi kabar baru yang datang pagi ini langsung muncul dari Pak Rovindang. Ia menulis pengumuman di grup Strategic Planning.
Yang Maha Kuasa