Tukang Kipas Naik Naga Indosiar

Rury R&B
Chapter #18

Catatan Veronika: Lima, Lima, Coba Peruntungan

1 hari kemudian, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 12 Juni 2020

Tidak ada yang lebih baik antara kerja di rumah atau di kantor.  Bagi gue, kerja di bawah Pak Rovindang sama saja dengan work from hell.  Sebelum mati, gue akan dipecut sampai titik pingsan penghabisan.  

Dari jadwal yang dibagikan Mas Santan di grup chat kerja, hari ini gue akan menemani Pak Rovindang  bersama Hudea dan Javi.   Wah, ini sih sama saja dengan penyiksaan.  Jika dahulu gue dan Hudea bisa pergi begitu saja setelah pukul 5 sore, belum tentu hari ini bisa begitu.  Harusnya hari ini TGIF!  Thanks God It’s Flagging Day!  Waktunya gabut!  Bukankah besok itu akhir pekan yang seharusnya menyenangkan dan menenteramkan? 

Yah, walaupun pengumuman massal mengenai jam kerja sudah diedarkan melalui nota dinas dengan waktu bekerja yang sengaja dipangkas demi keamanan, ini tidak berlaku sama selagi di departemen gue.  Lagi-lagi alasannya selalu sama:  Strategic Planning itu punya hak eksklusif yang tidak dimiliki departemen lain.   Gue setuju.   Pantat si Naga memang eksklusif sampai ada toilet khusus eksekutif sengaja dibangun di tiap lantai yang bisa dipakai oleh para petinggi Telcacell.  

Karena memiliki “hak istimewa” menguasai kantor sampai malam, gue juga tidak tahu sampai kapan akan ditahan di sini.  Daftar pekerjaan gue hari ini tidak begitu banyak, kecuali kalau tiba-tiba ada permintaan dadakan untuk ikut hybrid video conference atau mengerjakan materi.  Siap-siap saja kerja lembur lagi. 

Tapi setidaknya hari ini gue tidak benar-benar sendirian.  Gue sudah dari pagi sengaja mejeng di pantry untuk mencari keberadaan lelaki klimis nan modis yang baru saja kembali dari kampung halaman.  Katanya sih, dia  memang sengaja diliburkan sementara sampai memungkinkan untuk bisa kerja lagi.  Bebe bukan karyawan yang direkrut langsung oleh kantor gue, melainkan tenaga kerja ahli luar yang bekerja untuk perusahaan yang menjalin kontrak dengan Telcacell.  

Jadi ketika gue melihatnya mendorong gerobak sampah, gue melambaikan tangan ala Miss Universe sambil mengunyah bakwan sayur.  Sungguh, multitalenta sekali gue bisa melakukan dua kegiatan sekaligus!  

“Beb!”  Gue menyapanya, sumringah.  “Udah makan belum?  Gue baru beli bakwannya Bang Jali, nih!”

“Waduh, ada apa ini?  Pagi-pagi udah ketemu sampah masyarakat satu, gede pula,”  Bebe meraih lengan gue, berupaya mencelupkan kepala ke dalam tong sampah.  “Mbak, kalau sukarela membuang diri ke tong sampah katanya dapat doorprize dari atasan.” 

“Jangan balikin gue ke tempat asal dong, baru aja mandi, Beb,”  gue cengengesan.  Tangan gue segera menarik maskernya sampai dagu,  lalu menjejalkan bakwan ke mulut Bebe.  “Nih, gue baik nyuapin lo biar makan kayak bayi.  Tangan lo kotor habis buang sampah, kan?”

Bebe mengambil tisu agar tangannya tak berminyak, mengunyahnya pelan. “Bayi enggak makan bala-bala, Mbak.”

“Bayi makan apa dong?”

“Bayi udah jelas menete ke emaknya.”

Gue membelalakkan mata, kemudian segera menutupi dada yang terbungkus hoodie warna kuning.  “Otak lo ikeh ikeh kimochi, ya?!”

Bebe terkekeh.  “Dengan penuh hormat, tapi Mbak Vero itu enggak masuk katalog hewan tercantik versi saya.”

“Sialan lo, Beb!”

“Mbak Vero itu lebih cocok masuk katalog hewan  terlucu.”

“Oh, gue menggemaskan kayak panda gitu?”   Gue mulai geer seraya melempar rambut ke belakang.  Selera Bebe memang patut diacungi jempol!

Bebe memainkan kedua alis seraya mengerucutkan mulut.  “Kesan pertama saya ke Mbak itu kayak lihat kapibara di kebun binatang lagi asyik  berendam di pemandian air panas.  Kelihatan nyaman banget  hidup malas kayak gitu.”

Mulutku terperangah.  Bisa-bisanya dia bilang begitu!  Aku, Veronika, dianggap tikus!  Otomatis gue gebuk saja punggungnya  keras-keras dengan kedua tangan gue.  Maunya sih bikin dia tersiksa, tapi gue malah jadi terlihat seperti mengulek adonan biar tidak bantat.  Lagi pula tahu dari mana dia kapibara punya hobi mandi?  

“Panda, kek!  Kucing, kek!  Kelinci, atau minimal hamster kalau disamain kayak tikus!  Lo ini punya hobi ngintipin binatang mandi, ya? Nonton kapibara berendam di mana, hah?  Kampung halaman lo punya sirkus hewan?”

Senyumnya makin mengembang ceria.  “Masa Mbak enggak sadar?  Mbak Vero udah memperlihatkan kemampuan akuatiknya bermain-main sama air toilet pas kita pertama kali ketemu.  Udah pasti cocok jadi kapibara!”

Haaa, sialan.  Dia ada benarnya juga.   Mana bisa gue menampik alasan bodoh nan tepat sasarannya itu?   

Tiba-tiba saja suara berdeham tak asing membuat gue bergidik.  Gue melihat Javi menatap ke arah kami cukup tajam.  Lagi-lagi si kotoran pesta mulai beraksi.  Cih.  Gue bermain mata sebentar dengan Bebe, yang dibalas dengan alis yang dinaikkan dua kali.  Gue kembali mengunyah sisa  bakwan Bang Jali yang masih hangat, sementara Bebe menghabiskan bakwan sayur dan meloyor ke area lain.  

Lebih baik tidak membuat masalah selama lorong kantor ini masih milik nenek moyangnya Javi. Gue selalu berhati-hati kalau ada di dekat lelaki dengan potongan rambut cepak ini.  Alasannya simpel:  semua tahu dia adalah anak bungsu direktur HR yang saat ini sedang menjabat.  Huh, bisa-bisa gue dimutasi ke Planet Mars kalau berani mengganggunya meski hanya seujung kuku!  Gue sih tidak masalah selama atasan berikutnya bukan sejenis Pak Rovindang.  Hmm, apakah gue coba saja ganggu Javi?  Siapa tahu kalau gue menyebalkan, dia akan melaporkan ini ke papinya.  He-he-he, pintar sekali Veronika!  

Namun ketika dia sendiri yang menarik kursi di hadapan gue, mencomot bakwan terakhir di piring, tentu saja kelakuannya bikin heran.   Gue langsung menengadahkan tangan.  “Dua ribu.”

Lihat selengkapnya