Tukang Kipas Naik Naga Indosiar

Rury R&B
Chapter #22

Catatan Veronika: Enam, Enam, Delima Dilema

4 hari kemudian, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 26 Juni 2020

Ini sungguh pilihan yang maha sulit.  Ketika gue memejamkan mata seraya melipat tangan, sesungguhnya gue berharap mendapat wangsit atau bisikan gaib agar gue bisa menentukan pilihan segera.  Aduh, kenapa  juga gue malah disuruh memilih?  Gue sangat tidak jago dalam hal semacam ini. 

Kak Maya selalu menyebut gue sebagai manusia plin-plan.  Bukannya gue tidak bisa menentukan pilihan.  Hanya saja apa yang bisa gue lakukan kalau memang kedua opsi yang ada di hadapan gue adalah sesuatu yang tidak bisa gue raih dua-duanya?  Maka ketika gue harus memilih sesuatu, gue tidak bisa serta merta memilih begitu saja.  Apa lagi ketika pilihannya begitu beragam hingga gue sulit sekali menentukan keinginan.  Kalau seandainya gue bisa dapat semuanya, tentu saja itu lebih baik.  Hhh, benar-benar menyebalkan!  

Ibaratnya jika ingin makan sekaligus pup di waktu bersamaan, memangnya siapa yang maha hebat hingga bisa melakukan keduanya dengan sempurna?  Memangnya ada?  Gue berani taruhan presiden juga harus punya prioritas!   

“Beb, pernikahannya mau berapa lama?  Pandemi begini memangnya enggak kena masalah nantinya?”

“Justru karena hadirin dibatasi, makanya aman,”  jawab Bebe.  Kami tentunya ada di markas biasa, yaitu pantrykhusus office boy.  Beberapa orang yang sempat hilir mudik masuk ruangan sudah terbiasa dengan gue yang suka nongkrong di sini dengan Bebe, lesehan sambil kadang-kadang ngemil gorengan Bang Jali.   

“Berarti cuma kita berdua, nih?  Sisanya gimana?”

“Terkendali,”  jempol dan telunjuk membentuk sebuah lingkaran pertanda bahwa ia sudah memikirkan seluruhnya.  Luar biasa lelaki klimis satu ini!  Lama-lama gue sewa juga dirinya kalau gue butuh event organizer untuk pernikahan gue sendiri.  

Gue kembali melihat rundown yang ia buat di secarik kertas.  Meski tidak bermodal tinta dan laptop, bisa-bisanya tulisan tangan Bebe malah tidak beda jauh dengan hasil ketikan di perangkat lunak pembuat dokumen.  Presisinya begitu mengerikan karena tabel pun dibuat dengan keakuratan yang sangat sempurna.  Kalau gue yang buat, sudah pasti garisnya mencong dan miring  semua. 

“Justru tren di era new normal itu intimate wedding, Mbak,”  katanya.  “Jadi enggak perlu rapid test ke hewan berkaki du –maksud saya, jumlah orang yang hadir cukup kita berdua.  Sisanya tanaman yang saya bawa balik ke sini.  Butuh usaha dan kerja keras mengangkut semua dari indekos ke sini, tapi alhamdulillah mereka bisa ikut menyaksikan pernikahannya Susan dan Susanto!”

“Lo tahu dari mana tren terbarunya begitu?  Lo mengintip rumah tangga mereka apa gimana?”

“Bang Jali akhir-akhir ini suka membungkus gorengan pakai tabloid gosip, Mbak.  Ternyata artis-artis banyak yang menikah di zaman pandemi!   Saya hanya mencontoh saja.  Kalau mereka bisa, kenapa Susan dan Susanto enggak bisa?”

“Harus pakai masker?  Bukannya nanti kita di atap kantor?”

“Pak Dendi yang biasanya suka kasih kunci ke atap lagi sakit, Mbak.  Dia dirawat sekarang di rumah sakit.  Jadi kita enggak bisa mengadakan acaranya di atap.   Justru itu alasannya kenapa saya meminta Mbak Vero supaya bisa bantu akses masuk ke ruangan atasannya Mbak Vero.  Acaranya sendiri rencananya minggu depan.”

“Lo yakin mau pakai ruangan itu?  Memangnya enggak ada lagi tempat lebih baik?”

Bebe mengedikkan bahu.  “Mbak Vero mau menyarankan di mana?  Pantry?  Nanti jadi enggak sesuai tema lagi, Mbak.  Esensi intimate wedding enggak dapat.”

“Hmm… di kantor ini enggak ada tempat yang sepi?  Kayaknya kantin enggak terlalu banyak dikunjungi, deh.  Setahu gue kafetaria umum di lantai 8 juga ditutup, lho.”

“Memangnya Mbak mau mondar-mandir angkut pot tanaman  dari lantai 29 ke lantai 8?  Saya aja kesusahan pakai lift khusus barang.”

Gue mengacak-acak rambut.  “Tapi pakai ruangannya si Naga juga bukan pilihan, Beb.  Lo memangnya enggak takut kena azab?”

“Kan bukan saya bawahannya, Mbak.  Jadi posisi saya aman, hehehe.”

Bangcat benar si Bebe!  Apa jangan-jangan ini alasannya gue bakal diseret-seret untuk melihat kaktus satu dan kaktus dua mengikat cinta kasih abadi?  Supaya gue jadi tameng kalau ada masalah? 

“Beb, risikonya besar, lho.”

“Sebanding dengan hasilnya, Mbak.”

Gue menghela napas.  “Coba jelaskan, kenapa lo memilih  ruang kerja si Naga buat ritual pernikahan kaktus?  Gue enggak akan bisa bantu kecuali alasannya masuk akal!” 

Bebe terdiam sejenak.  Matanya masih menatap gue lekat-lekat, sementara kedua kakinya ia peluk hingga merapat ke tubuhnya.  Ampun deh, posenya kayak anak kecil merajuk.  “Justru ruangan itu yang aman, Mbak.”

“Maksud lo?  Gue enggak paham.  Apa yang bikin lo bilang ruangan itu yang aman?  Apa gara-gara di pojok, jadinya enggak akan ada yang memergoki?” 

“Mbak coba lihat sendiri,”  Bebe memberikan kartu pegawainya ke gue.  “Kelihatannya hari ini kita bisa pakai ruangannya.  Nanti calling saya aja kalau sudah aman, saya masih harus kerja dulu.  Biar saya aja yang memindahkan potnya ke sana.”

Gue menyakui kartu itu.  “Oke, deh.  Eh, omong-omong lo tahu dari mana–”

Gawai gue tiba-tiba berdering.  Begitu gue melihat nama yang tertera di layar, mulut gue menganga.  Mampus!  Jangan sampai ia tahu gue ada di sini!

Gue langsung menghentikan Bebe bicara dengan menaruh telunjuk di depan masker, lalu memijit tombol di layar.  Setelah itu gue mendekatkan layar itu ke telinga.  “Halo?”

Lihat selengkapnya