5 hari kemudian, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 6 Juli 2020
Pemberontakan impulsif yang kulancarkan tidak berhasil. Yah, bukankah hasilnya sudah bisa diprediksi jauh sebelum dimulai? Aku tahu apa yang kulakukan ini jelas akan dinilai tolol, terlalu nekat, kekanak-kanakkan, dan tidak berguna. Entah ujaran bohong apa saja yang mereka lekatkan padaku nanti, tapi aku tak peduli. Ini toh baru awalan saja. Hal yang kulakukan tempo hari itu baru pemanasan.
Tatkala aku memulai rencana nekat ini, aku sudah memperhitungkan segala jenis risiko yang akan kuhadapi ke depan. Pengucilan tentu bukan sesuatu yang tak mungkin kualami. Oh, aku sudah terbiasa dengan pengucilan sana sini, dan tidak terlalu masalah untukku. Bukankah aku ini orang yang mudah sekali dibenci? Setimpal dengan yang kulakukan juga terhadap mereka: aku pun dengan mudah menyagar orang sesuai dengan sifat busuk mereka masing-masing.
Ada manfaatnya juga pengalamanku diabaikan oleh satu kelas saat SMA; aku jadi tak acuh dengan sekelilingku sendiri. Bukankah susah sekali menjadi seseorang berani mengeluarkan pendapat? Mereka mencapku pemberontak. Mereka mencapku duri dalam daging ketika berani vokal melawan mayoritas yang menganggap bahwa pengadilan terbaik adalah melalui voting suara terbanyak. Apa betul menjadi pihak dari kelompok jauh lebih besar itu selalu di jalan yang lurus? Meski sudah terbukti nyata bahwa keadilan tak bisa hanya disuarakan melalui sistem demokrasi kuno pemuja Dewa Zeus, pada kenyataannya sebagian besar pihak tetap lebih suka mengadopsinya sebagai bagian dari pembenaran.
Bagiku, keseimbangan itu baru bisa diraih di masa kami semua mendapatkan hak yang sesuai porsi masing-masing. Bukankah kami sudah berupaya menjalankan kewajiban? Adalah sebuah omong kosong semata jika perusahaan mempertanyakan loyalitas karyawan di saat mereka sendiri tak mampu memberikan eigendom yang layak bagi para pekerja. Baik perusahaan dan karyawan itu harus sama-sama diuntungkan. Transaksi yang terjadi itu harus setara sesuai dengan strata dan jenjangnya di perusahaan. Anak TK saja tahu soal ini.
Ah, tapi percuma saja membicarakan hak dengan kewajiban dengan sekumpulan manusia dungu. Grup Carbonara adalah kumpulan kerbau dicocok hidungnya yang tak berani membela diri mereka sendiri. Lihat saja jenis percakapan di grup, betapa menyedihkannya! Mereka hanya bisa menggerutu dan menyindir tanpa berani menunjukkan sikap selayaknya seseorang yang merdeka. Benar-benar kantor ini tak ada harapan sama sekali. Transformasi digital yang kami jalankan itu hanya tahi kucing. Buktinya, departemen Strategic Planning yang digadang-gadang sebagai pembawa perubahan sama sekali mandek, tak mau bermetamorfosis menjadi lebih baik.
Aku sadar bahwa aku akan tetap sendirian sampai kapan pun, sampai ketika akhirnya aku bisa mencari celah melempar bom pada departemen ini. Biar saja, justru jauh lebih memudahkan bergerak sendiri daripada bersama kelompok yang sudah barang tentu akan memiliki tujuan politik masing-masing. Oh, aku sangat menantikan hari ketika bisa membalas perlakuan Pak Rovindang terhadapku selama ini! Pasti, pasti akan ada karma yang menantinya. Kalau pun tak di sini, aku yakin di akhirat malaikat sudah membuat catatan yang banyak sebagai barang bukti.
Jadi yang bisa kulakukan adalah menegakkan kepala, menempelkan kartu pegawai ke mesin pembaca, lalu berjalan tegap memasuki ruang kerja. Ini jelas bukan hari yang baik untuk kerja kantoran, tapi aku toh tak punya pilihan. Sekarang adalah shift-ku untuk masuk bersama dengan Hudea. Mas Santana jadi wajib masuk setiap hari karena ia berperan sebagai pendamping Pak Rovindang selagi Mas Rifan dibiarkan sakit. Bisa saja nyaris sekarat, mana kita tahu kan?
Namun ketika aku baru saja hendak menuju kursiku, kulihat ada perempuan asing mengenakan hijab duduk di sana. Siapa?
Perempuan itu menoleh. Setengah wajahnya tertutup oleh masker kain, tetapi aku seperti mengenalinya. Di mana aku pernah lihat dia sebelumnya?
”Halo,” suaranya yang cukup nyaring menyapaku. Dengan alis sedikit mengerut, aku mencari kursi lain untuk kutempati. Di ruang kerja kami, sekat-sekat sengaja terpasang untuk mencegah penyebaran virus merebak parah. Tak lupa mereka sampai sengaja membeli air purifier mahal untuk menyaring penyebaran partikel yang suka ditunggangi oleh virus.
“Ibunya mau ketemu siapa, ya?” tanyaku. Dilihat dari lipatan perut yang tak bisa tertutupi oleh baju longgarnya serta sepatu olahraga bermerek yang kucel… apakah usianya sekitar 40-an? Apa dia adalah tamu seseorang di sini, mungkin tamunya Pak Rovindang?
“Oh, hari ini saya perdana ketemu Pak Rovindang,” jawabnya dengan nada ceria. “Mbaknya kerja di departemen mana? Strategic Planning juga?”
Juga? Astaga. Apa ini artinya…
“Ibu… jadi penanggung jawab jabatan AVP di departemen kami, ya?” Ya ampun, bisa-bisanya malah aku yang berhadapan langsung dengan orang ini!
“Wah, kamu berarti memang kerja di bawah Pak Rovindang, ya?” Perempuan itu kemudian membuka maskernya. “Aduh punten ya… saya enggak bisa pakai masker kelamaan. Engap, bikin sesak napas. Enggak apa-apa ya, saya enggak pakai masker? Jarak kita jauh-jauhan… oh ya, siapa namanya, Mbak? Kita belum kenalan.”
Oke. Ini benar-benar bukan pertanda bagus. Firasatku terbukti, dan aku semakin bertekad tidak akan pernah melepas maskerku di depannya. “Saya Indita, Bu. Kerja di departemen ini untuk bagian financial planning.”