3 hari Kemudian, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 12 Juli 2020
“Beb.” Krauk krauk.
“Hmm?”
“Gue betah di sini.”
“Jelas Mbak, di sini banyak makanan.”
“Nyam… iya, sih. Di sini damai banget pula.”
“Begitu keluar dari sini energi positif dan lemak badannya berkurang ya, Mbak.”
“Gue memang doyan ngunyah, tapi kok bisa ya berat gue enggak bertambah?” Gue berhenti mencomot makaroni kering dari dalam toples. Kenapa ya, gue tidak pernah terpikir menjadikan pantry office boy sebagai markas dari dulu? Di sini banyak makanan mengingat pantry satu ini sering jadi “gudang” sementara timbunan cemilan sebelum diedarkan ke seluruh kantor. “Kayaknya gue stres, ya? Habisnya gimana ya Beb, makan di kantor juga jadi enggak nyaman. Gue jadi suka pilih-pilih sekarang.”
Bebe masih mengelap gelas basah yang bersih. “Masa? Wah, Mbak sehati nih sama sapi Bapak di kampung!”
Gue berdecak, meraup segenggam makaroni kering, mulut gue kembali menyanyikan suara indah makaroni yang tergerus oleh gigi taring dan geraham. “Kemarin gue disebut kapibara, sekarang disamakan dengan sapi. Konsisten dong Beb, gue kan jadi krisis identitas.”
“Pas kemarin saya pulang kampung, kondisi peliharaan kami memprihatinkan,” Bebe tiba-tiba mendongeng. “Kayaknya ikutan stres gara-gara pandemi, Mbak.”
“Stres gimana?”
“Jadi kurus,” kata Bebe. “Padahal harusnya pesta pora, Mbak. Kan mereka jadi enggak disembelih massal. Pasar daging sapi lagi lemah, lesu, dan lunglai.”
“Kenapa? Kan virusnya enggak bikin ada flu sapi, dong?”
“Sapi punya Bapak pilih-pilih, Mbak. Mereka enggak mau dikasih rumput biasa. Dedak padi juga enggak doyan. Maunya daun bayam dicampur daun pepaya organik, sesekali cemil fermentasi batang pisang dan ampas tahu biar enggak gampang bosan. Tapi gara-gara pandemi jadinya Bapak harus hemat, masih putar otak biar sapinya berhenti mogok makan.”
“Waduh… turut prihatin, Beb.”
“Coba kalau sapi peliharaan Bapak doyan segala kayak Mbak Vero,” Bebe menghela napas sedih. Setelah semua gelasnya bersih, ia meletakkannya kembali ke troli, bersiap keluar untuk menaruh peralatan makan bersih di pantrykantor. “Limbah perkebunan Bapak jadi sia-sia, kan?”
Baru beberapa detik setelah Bebe keluar, gue kemudian menegakkan punggung. Wow, bapaknya Bebe punya perkebunan? Gaya juga keluarganya. Apa jangan-jangan Bapaknya juragan padi yang hasilnya melimpah? Dipikir-pikir, Bebe sama sekali tidak pernah menceritakan keluarganya ke gue.
Namun apa pun latar belakangnya, pandemi ini memang benar-benar kejam. Gue tidak sedang membicarakan pakan ternak, tapi terhadap keseluruhan kelangsungan kehidupan. Jelas kalau dibandingkan sapinya Bebe, gue masih bisa menikmati McMuffin pagi-pagi tanpa perlu khawatir kehabisan atau menunggu hingga suasana hati membaik agar mau makan. Tapi bagaimana dengan orang-orang di industri jasa? Bahkan McMuffin saja tidak bisa terjun ke pemanggang tanpa keberadaan chef di belakangnya.
Gue yakin bukan cuma rumah sakit saja yang kewalahan terhadap membludaknya permintaan tempat tidur dan tenaga kerja. Bisa jadi ada sebagian besar usaha yang juga menghadapi lonjakan yang tidak kira-kira. Contohnya saja McMuffin ini. Gue pernah harus menunggu lama untuk bisa sarapan di rumah karena ternyata pengemudi ojek onlinetersebut harus mengantar pesanan ke beberapa rumah lain sebelum tiba di rumah gue. Apakah chef di balik kreasi McMuffin itu mendapatkan istirahat yang sesuai dengan jam kerja? Bagaimana pengemudi ojol bisa melewati pandemi, apakah tanpa keberadaan penumpang di jok belakang jauh lebih menguntungkan karena segala macam belanjaan hingga paket saja mengandalkan jasa ojek seperti ini? Entahlah.
Tentunya gue tidak menafikan bahwa banyak juga yang terseok-seok, bahkan bisa jadi gulung tikar. Dengan cukup banyak warung serta kios makanan tidak buka di kantin kantor, gue memang sempat kebingungan saat hendak membeli makanan. Memang sih warung soto ayam masih buka, tapi masa iya gue makan itu terus tiap hari?
Walaupun kantor sesekali suka membelikan makan siang dari luar, lama kelamaan jenuh juga kalau harus tetap tinggal di ruang kantor dalam waktu lama. Pertama-tama, gue jadi terpaksa harus berinteraksi dengan rekan-rekan yang tidak begitu gue sukai. Kedua dua, Pak Rovindang tiba-tiba saja tercetus ide melaksanakan makan siang bersama yang berlangsung sejak minggu lalu. Hebat benar idenya!
Gue yakin ini hanya pembenaran kesekian kalinya yang dilakukan si Naga dengan menggunakan wewenang seenaknya. Bagaimana tidak? Acara makan siang bersama menjadi agenda wajib setiap kali kami WFO. Dia mengatakan bahwa ini upaya pencegahan penularan sehingga memesan makanan dari luar adalah kebijakan yang masuk akal di masa seperti ini.
Tapi dipikir-pikir lagi, apa memang bisa diterima oleh akal sehat jika menu makanan kami hari ini berupa salmon panggang Wellington yang harganya melebihi uang makan gue seminggu? Minggu lalu kami dipesankan bakso sapi yang harga sebutirnya setara dengan harga semangkuk soto ayam di kantin. Bahkan di saat gue sedang WFH, grup Carbonara sempat ribut karena si Naga sedang ingin makan ayam kampung satu ekor! Wah, bagaimana ceritanya dia bisa lolos dari pantauan departemen Finance dengan acara ngidam makanan dengan harga selangit yang berlangsung tiap minggu?
Gue menutup toples, membersihkan serbuk makaroni, lalu berjalan keluar. Sebentar lagi waktunya makan siang, setelah ini rencananya akan ada rapat dengan departemen NIT terkait transformasi organisasi. Biasanya menjelang waktunya memberi nutrisi yang baik bagi tubuh, gue selalu bersemangat. Entah kenapa gue malah malas ke pantry. Untuk saat ini si Naga memang melupakan kebiasaannya berdebat tentang bumi datar… tapi apa nikmatnya kalau karena akhir-akhir bos sendiri lebih suka misuh keburukan lawan politiknya saat makan siang?
Ketika baru selesai mencuci tangan di toilet, gue melihat Bebe berjalan tegap membawa dus makanan yang cukup berat. Ia tersenyum ketika kami berpapasan.
“Mbak, hari ini bakal suka sama menunya!”
“Si Naga minta dibelikan apa sekarang?”
“Steak wagyu!”
“Wagyu meltik?”
“Bukan. Wagyu asli.” Mulut gue menganga seiring perjalanan kami menuju pantry. Gue tidak salah dengar, kan?!
“Beb, bukannya itu satu juta seiris? Yakin kita makan wagyu asli?” Astaga, astaga. Kok bisa-bisanya dia bermewah-mewah di tengah penderitaan orang yang malah makin melarat akibat pandemi?
“Bukan wagyu Jepang, Mbak Vero. Wagyu Australia,” Bebe menerangkan. “Sekarang untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sapi, ada beberapa peternakan yang sengaja mendatangkan bibit wagyu ke Indonesia. Restoran yang ini kerja sama dengan peternakan lokal. ”