4 hari kemudian, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 3 Agustus 2020
Orang-orang seperti Bu Nariti dan Rovindang jelas menguasai beberapa hal yang merupakan titik lemah manusia lain pada umumnya: keahlian memoles diri sedemikian rupa yang membuat orang berdecak kagum. Mereka satu spesies dengan Bapak, sama-sama gila hormat dan menyukai tahta. Itu artinya kelemahan mereka juga harusnya sama.
Di satu sisi, Bapak terlihat seperti seorang bapak pada umumnya. Dia bertanggung jawab terhadapku dengan memberikan kebutuhan hidup, setidaknya dari segi materi aku tak pernah terlantar sedikit pun. Aku bisa menyelesaikan kuliah dengan baik dan tepat waktu karena Bapak tak segan-segan memberikanku segala macam yang kubutuhkan agar bisa menjadi trofi kebanggaan, salah satu prestasi hidupnya.
Namun dari yang kupelajari selama menjalani perawatan dengan psikiater, orang-orang yang menjadi korban makhluk terkutuk seperti mereka kerap mempertanyakan kewarasannya sendiri. Ada beberapa perilaku yang jelas tak bisa kudeskripsikan dengan baik, hal-hal ganjil yang kerap terabaikan oleh fakta lain bahwa Bapak adalah pemurah dari segi materi. Ibu rupanya menyadari ini lebih awal hingga lebih memilih kabur tanpa membawaku serta. Aku yang masih bodoh dan polos perlu berjuang beberapa waktu hingga bisa keluar dari lubang neraka.
Tinggal bersama Bapak membuatku belajar selalu curiga. Aku lebih suka tidak membagi informasi pada orang lain yang tak benar-benar kukenali. Lebih baik tak punya koneksi sama sekali daripada tersakiti setelah tahu watak mereka yang sebenarnya. Rupanya pengalaman tinggal dengan Bapak bertahun-tahun membuatku bisa dengan mudah menemukenali Bu Nariti dan Rovindang sebagai sesama sampah masyarakat terselubung. Patutkah ini disebut sebagai anugerah?
Aku sebetulnya sadar benar bahwa menyerang Rovindang tak akan membuat permasalahan selesai. Justru semuanya makin runyam. Selama aku belum memiliki sesuatu yang bisa membuatnya mati kutu, berada di posisi ini tak menguntungkan. Seandainya aku tidak melawan, apakah keadaan bisa membaik? Tidak juga. Bisa saja aku tak pernah punya kesempatan untuk mendekati Bu Nariti untuk memutar balik situasi.
Aku tak pernah mendapat pujian atas segala hal yang kukerjakan, hanya saja aku belum pernah sekali pun terkena semprot Bu Nariti hingga detik ini. Anto, Tricia, dan Hudea sempat beberapa kali terkena imbas ketika mereka melakukan kesalahan yang sepele. Bu Nariti jelas tak bisa menoleransi kecatatan dalam pekerjaan. Semuanya harus sempurna.
Kesempurnaan ini pula yang merupakan jalan agar bisa menusuk Bu Nariti dan Rovindang dari berbagai arah. Reputasi serta pandangan orang lain terhadap diri mereka adalah makanan segar, asupannya harus selalu ada setiap saat. Sudah kuduga Rovindang memang sengaja membuat aturan WFO agar bisa mencari gara-gara dengan kami. Mungkin selain rumah tangganya juga bermasalah, mengadakan video conference terus menerus bisa menjadi alat pemuas agar bisa menancapkan taring ke leher kami semua.
Tentu setelah mencermati kebiasaan Bu Nariti tak membuatku bisa langsung mencari titik terlemahnya. Apakah boleh dibilang bahwa aku sudah mendapatkan kepercayaannya? Padahal aku baru saja masuk ke tim ini, ternyata kesempatan yang Bu Nariti berikan padaku melebihi ekspektasi. Siapa sangka aku juga diajak serta dalam rapat dengan direktur yang bertanggung jawab terhadap keberlangsungan departemen Strategic Planning dan departemen Corporate Transformation?
Bukan Anto, bukan Tricia, bukan juga Hudea. Akulah yang ditunjuk. Kedengkian jelas bisa terlihat dari tatapan mereka ketika aku menemani Bu Nariti menemui sang direktur di ruangannya lantai 36, Pak Setyowan.
Pertemuan itu tidak terbilang istimewa. Hal yang kulakukan sebatas menyorot materi yang sudah kami buat, kemudian Bu Nariti mempresentasikan pada Pak Setyowan. Apa pula yang membuat anggota tim lain iri? Toh tidak berarti aku bisa berinteraksi langsung dengan Pak Setyowan, mengadukan ulah Bu Nariti dan Rovindang begitu saja. Terlalu nekat dan gila. Tak akan ada yang mau percaya selama aku tidak memegang petunjuk sama sekali.
Selagi aku berusaha menahan muntah akibat aroma parfum floral Bu Nariti, aku menyalakan perekam suara yang berfungsi untuk jadi barang bukti mengenai rapat ini. Biasanya setiap kali rapat dengan Bu Nariti, rekaman video atau suara untuk diunggah ke cloud agar jika sewaktu-waktu dibutuhkan, rekaman itu bisa didengarkan kembali. Ada baiknya juga Bu Nariti suka sekali membahas satu slide presentasi sampai berbusa-busa, membuatku leluasa melakukan apa yang kuinginkan.
Diam-diam, kuambil gawai dari saku kemeja, kemudian kuarahkan kamera belakang untuk memotret, mencari sudut pandang yang cukup enak dilihat. Suara kamera sudah kumatikan agar tak ada yang tahu bahwa aku mengambil gambar tanpa bilang-bilang. Setelah mendapatkan foto sesuai yang kumau, aku segera menyalakan Bluetooth di gawai untuk mengirimnya ke laptop. Foto di gawaiku segera kuhapus.
Aku sempat membuat pengaturan monitor ganda yang membuat posisiku cukup longgar; baik Bu Nariti dan Pak Setyowan tidak akan tahu apa yang kulakukan di laptop selagi menyorot materi di layar menggunakan proyektor. Jadi apa pun aktivitas di layar laptop yang kulakukan tidak akan terpampang terang-terangan di layar. Sembari menunggu Bu Nariti dan Pak Setyowan masih membahas langkah demi langkah persiapan IPO, aku bisa mengerjakan rencanaku.
Ketika aku memutuskan keluar dari rumah, aku tidak gegabah langsung pergi begitu ada kesempatan. Bapak pasti akan berusaha mencariku mati-matian. Tentunya bukan karena dia benar-benar menyayangiku, kehilangan satu-satunya orang yang bisa dia banggakan sekaligus hinakan jelas membuatnya tak akan sanggup melanjutkan hidup. Persiapan untuk pindah selama-lamanya dari rumah harus benar-benar tanpa celah, membuat Bapak tak sanggup berkutik.
Kira-kira sekitar tiga bulan sebelum minggat, aku sengaja menaruh gawai lamaku di ruang tengah. Dengan kecanggihan teknologi terkini, bukan tidak mungkin menggunakan peralatan seadanya menciptakan CCTV. Aku hanya perlu berhati-hati agar Bapak tidak menyadari keberadaan kamera pengintai itu sampai aku bisa mendapatkan apa yang kubutuhkan.
Di sini jelas aku tak mungkin melakukan urusan yang sama mengingat medan perangnya tak pernah sama. Psikiaterku pernah menyarankan bahwa catatan harian bisa membantuku agar bisa mensortir isi pikiran. Catatan itu kupenuhi dengan kegiatan harian berikut daftar dosa atasanku yang bisa menjadi pemberat jika suatu saat nanti ada hal terburuk terjadi padaku. Itu sebabnya aku membuat blog sejak awal tahun lalu. Menulis tak hanya menjadi terapi bagiku, melainkan senjata lain yang bisa kugunakan kelak.
Tentu saja yang kulakukan selanjutnya adalah melanjutkan artikelku berikutnya di blog. Terkadang aku melakukannya di kantor, lebih sering aku menulis di kamar indekos. Tidak ada satu pun rekan kerjaku yang tahu. Selama ini catatanku hanya dibaca oleh psikiater. Tujuannya bukan hanya bagian dari penyembuhan semata, catatan itu penting agar dia bisa turut mengklarifikasi bahwa memang bukan aku yang gila. Aku ikutan gila karena lingkunganku yang gila.