5 hari kemudian, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 10 Agustus 2020
Bagaimana pun setelah gue pikirkan dengan saksama, asal muasal si Naga mengonfrontasi gue bukan dimulai ketika gue berdebat dengan Mas Santan. Rasanya terlalu sinetron kalau latar belakang gue jadi duta budaya karena perkara seremeh itu. Maksudnya… bukankah sejak Mas Rifan sakit dan gue gantikan, si Naga mulai berulah? Bukankah dia sendiri yang menyebabkan gue sampai seperti ini hingga terpikir mendaftarkan si Naga agar punya rumah KPR dengan cicilan 0% di kerak neraka?
Ya, segalanya bermula tepat ketika Mas Rifan sakit. Itu pun gue baru tahu kabarnya sekitar dua minggu lalu. Andai gue tidak menguping pembicaraan Mas Santan dan Javi, apakah kabar itu sampai juga di telinga gue? Belum tentu. Informasi macam apa pun selalu berusaha ditutup-tutupi oleh Pak Rovindang.
Namun jika sentimen itu bermula dari Mas Rifan jatuh sakit, bukankah itu gila? Senior gue satu itu hanya berusaha terlalu keras agar dapat perhatian Pak Rovindang. Sayangnya itu membuat Mas Rifan malah nyaris buta. Jangankan dapat penghargaan, pembesukan saja tidak formal! Kondisi pandemi seperti ini tak memungkinkan untuk bertamu ke rumah orang sembarangan. Tidak bisakah setidaknya dia berempati dengan mencoba meringankan beban hidupnya? Dengan membantu Mas Rifan naik pangkat saja sudah merupakan bentuk usaha minimal.
Dengan hanya Mas Santan yang secara berkala berkomunikasi dengan istrinya Mas Rifan saja sudah aneh. Atasan macam apa yang bisa-bisanya tak peduli dengan anak buahnya? Gue tahu bahwa ada banyak sekali contoh bos yang bukan seorang pemimpin becus, tapi tidak bisakah dia menunjukkan itikad baik bahwa dirinya masih punya hati nurani? Kalau memberi simpati secukupnya tak mampu, bukankah itu mengerikan? Ini juga mengungkap sisi lain dari Pak Rovindang yang tak pernah gue tahu sebelumnya. Si Naga ini memang tidak termasuk spesies manusia.
Keganjilan lain bukan hanya masalah simpati. Dari penerawangan gue sejak masuk Telcacell, Pak Rovindang ini sangat mementingkan dirinya sendiri. Bukan sekedar upaya ambisius memulai proyek bersama Pak Alesandro. Ini lebih daripada itu. Entah kenapa gue mendapat kesan bahwa Pak Rovindang menganggap seluruh anak buahnya adalah tempat untuk berpijak meraih sesuatu yang sangat dia dambakan. Apa pun wujudnya masih belum terlihat; gue pun tidak yakin ingin tahu. Satu hal pasti, keseraman yang kini dia perlihatkan kepada gue tak lagi hanya berupa imajinasi semata.
Lantas apa motifnya sampai menyerang gue sedemikian rupa?
Catatan tulisan gue yang semrawut makin kusut setelah gue mencorat-coret berbagai teori yang melintas di kepala gue. Mumet! Sampai detik ini gue masih belum mendapatkan jawaban apa pun setelah beberapa jam mendekam di pantry office boy. Untuk apa bekerja kalau tetap selalu disalah-salahkan atasan? Pokoknya selama gue bisa menggunakan hak prerogatif sebagai duta budaya Telcacell untuk bisa kabur, akan gue gunakan semaksimal mungkin. Setidaknya sampai si Naga mulai mencium tanda-tanda bahwa gue mogok kerja.
Melihat sepiring gado-gado tiba-tiba tersaji di depan gue langsung membuat gue mendongak. Bebe dengan senyuman malaikatnya berdiri rapi di samping.
“Sesajen apa lagi, Beb?” Veronika yang dulu akan kegirangan melahap apa pun yang Bebe glonggongkan. Agak sedih juga melihat gado-gado tersiram kuah kacang. Ajalnya malah gue tunda karena tidak bernafsu seperti biasanya.
“Sapi punya Bapak akhirnya mau makan lagi, uniknya mereka akan makan apa pun asal ada kacang hijaunya.”
“Terus gue dikasih kuah kacang biar nafsu makan gue bangkit dari kubur, begitu?”
Bebe terkekeh. “Akhirnya kios gado-gado buka lagi Mbak, setelah sekian lama. Bosan juga kalau menu makannya soto ayam terus.”
“Oh, ya?” Gue yang merasa tidak enak dengan kebaikan Bebe, menyendokkan sesuap gado-gado ke mulut. Hmm, rasa kuah kacangnya sih enak. Apakah bisa habis? Astaga, sejak kapan Veronika mempertanyakan kesanggupannya untuk makan, sih?
“Warung makan Sunda juga mulai aktif lagi meski belum selincah si kecil. Bukanya kira-kira dua atau tiga hari sekali, tapi seenggaknya ada alternatif lain, Mbak.”
“Lo berarti sehari-hari cuma makan soto ayam atau gimana?” Dipikir-pikir, sewaktu karyawan Telcacell macam gue bisa menikmati daging wagyu dan masakan peranakan mewah di Lapis Lazuli, di mana Bebe makan sehari-hari? Dengan kios jarang buka namun harus tetap bekerja, bukankah ini juga menyusahkan para pekerja seperti satpam dan office boy?
“Apa pun yang lewat juga dimakan, Mbak. Paling penting kan halal dan toyib. ” Sungguh jawaban yang ambigu.
Bebe menarik kursi di sebelah gue. “Mbak lagi sibuk apa? Dahinya itu sampai selecek receh kembalian bala-balanya Bang Jali.”
Gue menghela napas panjang. “Nasib apes, Beb. Harusnya gue yang pindah ke tempatnya Bu Nariti, malah jadinya Mbak Indita yang tukar tambah.”
“Mbak Indita memang punya etos kerja, Mbak.”
“Ck ck ck, iya gue juga tahu gue enggak kayak dia,” gue berdecak. “Tapi Mbak Indita pindah pun kayaknya bukan karena dia memang dibutuhkan. Dia dibuang.”
“Maksud Mbak?”
Gue meluruskan punggung, menyingkirkan piring gado-gado. Tangan gue sibuk membuat ilustrasi dua manusia korek api. “Setelah gue reka ulang, alasan Mbak Indita tiba-tiba dipinjamkan kemungkinan besar karena si Naga ini murka setelah pemberontakannya Mbak Indita tentang jadwal kerja kami yang keterlaluan. Karena pemilihan waktunya terlalu pas.”
Selanjutnya, gue membuat gambar api di kepala botak salah satu manusia korek api. “Si Naga ini udah dari lama meradang. Enggak lama kemudian, Mas Rifan sakit. Sebagai satu-satunya andalan si Naga, jelas dia enggak bisa terima kenyataan kalau perlakuannya selama ini bikin anak buah sakit. Malah dia lempar tantrum ke siapa pun karena enggak bisa mengakui kesalahannya sendiri, termasuk ke gue.”
Gue kemudian menggambar wajah ala anime di buku catatan itu, menulis nama gue di bawahnya, lalu memberi tanda panah dari gambar manusia korek api terbakar ke wajah tersebut. “Coba deh, bukannya ini satu rangkaian peristiwa beruntun? Waktu itu gue masih enggak tahu bahwa Mas Rifan sakit. Informasi ini kayak sengaja juga dikubur sama si Naga biar enggak banyak yang tahu. Tapi lama kelamaan dia enggak bisa tetap melakukan itu, orang bakal curiga. Jadi untuk mengalihkan perhatian, dia mencari-cari orang lain sebagai bentuk pelampiasannya yang lain, yaitu gue. Kayak gitu, Beb, ceritanya kenapa dahi gue enggak sekeset uang dollar.”
“Mbak?”
“Ya?”
“Kok cuma gambar ini aja yang sengaja kelihatan cantik?”
“Fokus, Beb. Gue tahu gambar gue memang kayak karya maestro, tapi itu bisa bahas nanti, kan?”
“Maestro? Hmm… kalau dilihat dari puncak Monas dengan mata tertutup halusinasinya selalu terasa benar, Mbak.”