1 hari kemudian, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, 18 Agustus 2020
Sakit atau tidak, selama masih bisa hidup, itu artinya karyawan masih bisa dipekerjakan. Itu adalah moto Pak Rovindang. Terbukti bukan, dengan Mas Rifan yang raib dengan informasi terkini yang sengaja dikubur sampai sekarang? Bahkan kalau mati dan bertemu di neraka pun, gue yakin kami semua direkrut paksa kembali untuk membuat kerajaan di kavling neraka yang sudah dia bayar lunas dengan timbunan dosa semasa hidupnya. Mau hidup atau mati, tak ada yang lebih baik.
Padahal hidung gue masih meler, tapi tak ada alasan sama sekali untuk tidak datang ke kantor. Gue jadi curiga, apa jangan-jangan si Naga termasuk golongan yang tak percaya bahwa pandemi ini nyata? Mungkin itu sebabnya dia hanya berpura-pura simpati saja sampai membuat shift masuk kerja berganti-gantian, padahal itu modus belaka biar ada yang menemaninya di kantor untuk jadi bahan olok-olok atau candaan menyakitkan. Media sosial ramai sekali dengan bentrokan antara setiap netizen dengan kepercayaannya masing-masing, bikin pusing tiap kali melihat timeline akun milik gue.
Uji klinis vaksin sudah dimulai minggu lalu menurut berita di televisi. Simulasinya dilakukan di beberapa area, salah satunya adalah fakultas kedokteran Padjadjaran Bandung. Para relawan ini mulai dari rentang usia 18-59 tahun dengan syarat kondisi harus sehat. Belum ada kabar tersiar lagi mengingat butuh waktu dua minggu untuk melihat keberhasilan tes tersebut.
Bahkan dengan kabar simpang siur tidak jelas tentang asal muasal virus atau berapa sesungguhnya jumlah korban akibat pandemi yang membuat netizen memulai perang saudara sana sini, gue tidak lantas ikut-ikutan menyetujui setiap berita yang tersiar. Gue menyeleksi informasi sesuai dengan yang ingin gue percaya. Maka gue tidak menihilkan keberadaan virus, pun menganggap meriangnya gue sebagai gejala penyakit yang menghebohkan dunia. Gue masih tetap mengikuti protokol kesehatan dengan merogoh kocek yang katanya akan segera diganti oleh kantor, melakukan tes sendiri dengan hasilnya negatif.
Dari hasil seleksi itu, gue meyakini bahwa ada permainan tertentu di balik penyebaran virus sampai seisi dunia juga kena. Entah itu permainan Tuhan yang murka hingga azab berupa virus turun, entah itu permainan manusia dengan segala kecongkakan dan ketamakannya, mana pun itu, gue hanya percaya satu hal pasti: kalau sakit, hubungi dokter. Mumpung sekarang zaman serba online, tinggal install aplikasi, gue langsung terhubung ke chat pribadi dengan dokter. Dokter yang menyarankan gue ikut tes agar memastikan gue terkena virus atau tidak.
Beda sekali dengan moto Pak Rovindang, kan? Kalau anak buah sakit, tetaplah harus dipaksa bekerja. Itu. Padahal kalau dia kena flu saja sampai merengek-rengek manja ingin dibuatkan wedang jahe ke Ratna, astaga. Kalimatnya yang meracau curhat kepada siapa pun yang mendengarkan betapa susahnya bernapas kalau hidung mampet bikin gue muak. Standar ganda sekali hidupnya.
Gue tetap memaksakan berangkat pagi meski air dingin saat mandi bikin gue makin bersin-bersin. Mbak Indita tidak mengatakan apa-apa saat gue melewatinya di ruang tamu, memakai sepatu, sambil bersin tiga kali. Sudahlah, anggap saja kami putus hubungan. Dia juga tak perlu tahu alasannya gue begitu rajin pukul setengah 6 pagi sudah siap-siap berangkat ke kantor dengan naik Transjakarta.
Setibanya di kantor, gue bisa masuk dengan mudah karena baru ada pergantian shift satpam yang berjaga di kantor. Umumnya gue harus mematuhi protokol dengan membuka tas untuk mengecek, siapa tahu gue bawa bom kentut; mengecek suhu badan; tak lupa memakai hand sanitizer yang selalu terpajang di mana-mana. Perjalanan menuju lantai 29 pun lebih mulus karena tidak ada orang yang ikut naik dan berhenti di lantai lain.
Begitu sudah sampai, gue langsung celingak-celinguk. Katanya Bebe juga mau datang pagi-pagi. Gue menyodorkan kartu karyawan agar terbaca, lalu pintu otomatis pun terbuka. Lampu di sekeliling gue cukup sensitif, semua langsung ikut menyala setelah ada pergerakan manusia mondar-mandir di sekitar. Gue sengaja menaruh tas di pantry office boy, baru mulai mencari Bebe.
Lelaki klimis itu ternyata sudah ada di depan pintu ruangan si Naga. Haduh, apakah gue harus kaget dengan penampakannya kali ini?
“Lo mau main lenong jadi Sherlock Holmes?”
“Saya Shareloc Holes, Mbak. Tugasnya mencari lubang dalam pori-pori hidup manusia,” Bebe mengangkat topi detektifnya, mengarahkan kaca pembesar ke muka gue.
“Kalau pakai skincare kayaknya enggak bakal punya pori-pori, Beb,” gue menghalau kaca pembesar itu, menunjuk ruangan si Naga. “Akses masih bisa dipakai, kan?”
Bebe menggunakan kartu aksesnya untuk memasuki ruangan. Terdengar bunyi “biip” pelan pertanda akses tersebut sah. “Kita punya waktu aman kira-kira satu jam. Banyak yang tinggal di luar planet Jakarta dan sengaja datang pagi biar enggak kena macet,” Bebe mempersilakan gue masuk duluan. Hmm, gentleman rupanya.
“Berarti tiap hari kita cuma punya waktu satu jam?”
Bebe mengangguk. Wah, satu jam itu bisa tidak terasa sama sekali. Mana mencari jimat ini mirip mencari harta karun, tanpa petunjuk pula. Berapa lama waktu yang harus kami habiskan mencari jimat ini?
“Saya cari di area ini, Mbak di sebelah sana,” Bebe menginstruksikan. “Kalau enggak ketemu, kita coba pindah ke areanya Mbak Ratna. Siapa tahu dititipkan di sana.”