"Aku ini santri bukan budak kerja rodi!"
Menembus dinginnya malam, aku berjalan dengan sandal jepit yang warna merahnya tertelan cokelat tanah diikuti temanku di belakang. Kami membawa cangkul di pundak masing-masing. Dua botol air minum diikat tali rafia, menggantung di tanganku. Menambah beban dan kekesalan.
Setelah melewati satu kilo meter, meledaklah amarahku jadi sebuah kalimat. Kalimat yang dibalas ayunan cangkul dari belakang. Cangkul tersebut nyaris menghantam kepalaku.
Beruntung, refleksku bagus. Badanku terdorong sampai ruku sesaat merasakan sesuatu melesat dan terbang dari belakang. Aku terbahak-bahak mendapati Prambon yang tersuruk ke tanah, mengikuti beban cangkul yang terlempar.
"Kamu niat bunuh aku opo gimana, sih?" tanyaku geli.
Prambon mendelik sembari bangkit lalu mengusap lututnya yang berlumuran tanah. Cangkul bertengger lagi di bahunya.
"Lagian cangkemmu elek tenan, Rai! Berbakti ke pondok kok disamakan kerja rodi? Pikiran koen masih menyangkut di pelajaran sejarah minggu kemarin?" sindir Prambon sewot.
Mataku menyipit. Malas merespons. Aku pun lanjut berjalan menuju pemakaman dengan senter tarzan. Santri Al-Ukhuwah senang bercanda kalau tarzan bisa punya senter, dia pasti bakal beli senter besar seperti ini yang cahayanya menggapai ujung jalan. Cocok buat orang yang senang masuk hutan.
Sepanjang perjalanan hanya terdengar gesekan dedaunan dan bunyi tonggeret. Aku merasa aman sampai beberapa ratus meter kemudian hingga cahaya senter tampak memudar, barulah aku merasakan pertanda ancaman.
Semakin kami memasuki hutan pun kegelapan malah semakin pekat. Aku meneguk ludah berkali-kali.
"Bon, cepetan jalannya!" pintaku.
Prambon di belakangku malah terkikik. Suaranya jadi terdengar mengerikan.
"Ngopo kowe, Rai? Wis banjir keringet awakmu!" Prambon tertawa makin ngakak.
Aku berdecak saja sambil memperhatikan jalan setapak yang berlumpur.
Aku bukan anak penakut, tetapi musim hujan selalu menyisakan perasaan ngeri di benakku. Gara-gara Sahrul! Dia pernah bercerita bahwa saat hujan itu setan-setan juga akan takut kehujanan. Tanpa bisa dilihat, mereka berterbangan dan berteduh di teras-teras rumah—bergelantungan rapat-rapat persis sebuah tirai.
Ingatan itu berhasil membuatku memejam lalu tersandung. Untung Prambon sigap menangkap tanganku.
"Eh, hati-hati."
Aku lanjut berjalan sembari menelan ngeri. Itu cuma kisah konyol, Rai. Aku berusaha menenangkan diriku.
Sambil berjalan, sesekali aku menoleh ke belakang. Memastikan Prambon tidak berubah jadi setan. Sahrul lagi-lagi pernah bercerita bahwa dia pernah diikuti makhluk berambut panjang sepulang dari hutan. Dia tidak merasakan apa pun saat kejadian, tetapi keesokan harinya dia demam sampai tiga hari.
Tidak pernah ada penjelasan. Setiap diceritakan, guruku pun hanya tersenyum dan mengatakan, "Kita itu nggak tinggal sendirian. Santai saja."
Sekitar lima belas menit kemudian, tibalah kami di pemakaman. Senter tarzan kumatikan. Boros listrik untuk mengisi dayanya. Santri dan hemat adalah dua kata yang bersahabat. Sebetulnya aku ingin bilang, "Bilang saja modalnya pas-pasan!"
Dengan lampu senter di kepala, aku dan Prambon siap-siap menyangkul tanah sepanjang 2,5 meter dan lebar 1,5 meter. Pertama-pertama kami ukur dengan meteran lalu kami tandai dengan batu. Secara bergantian kami pun menggali tanah.
Sudah jadi tanggung jawab santri piket untuk menggali kubur dan mengurus pemakaman masyarakat kampung yang tinggal di sekitaran pondok. Berdasarkan hasil permainan hompimpa alaium gambreng, aku dan Prambon kena sial kedapatan jadi tukang gali kubur. Sementara yang lain, ada yang membantu memandikan jenazah, mengurus pengajian, atau menggotong keranda.