Seperti bensin disulut api, ceritaku yang terpeleset ke liang lahat menyebar cepat dan rata ke seluruh penjuru pondok. Beberapa anak sengaja lewat hanya untuk menertawaiku.
Malam itu, aku pulang dengan digendong Prambon. Sebetulnya punggungku nggak sesakit itu, hanya terkejut saja. Namun, aku jadi lemas sekali. Rasanya ingin langsung tidur di kamar. Prambon yang mengira punggungku terasa sangat sakit pun menggendongku tanpa banyak protes. Sebelum mencapai pondok, aku meminta turun dan berjalan sendiri. Malu!
"Hati-hati lain kali, Mas Arai!" Sekelompok adik kelas itu melewatiku sambil tersenyum. Tetapi setelah jauh, mereka cekikikan sendiri.
Di serambi masjid, aku menutup Fathul Qorib yang baru saja kubuka dan segera masuk ke dalam. Lagipula, aku memang tidak akan bisa mengkajinya sendiri—harus bersama dengan guru. Tapi, aku senang belajar bahasa Arab dari kitab kuning ini.
Aku mengembuskan napas kesal. Prambon harus tanggung-jawab! Dia yang menceritakan kisah memalukan itu pada orang-orang.
Aku menutup kitab bertuliskan huruf Arab gundul tersebut dan memilih mengambil Alquran lalu mulai murajaah juz ke-9.
Hafalanku sulit bertambah. Rasanya kepalaku mau pecah karena diriku nggak hanya harus menambah jumlah ayat, tetapi juga perlu mempertahankan ayat yang sudah dihafal.
Aku baru mulai murajaah saat derum mobil terdengar memasuki kawasan pondok. Aku mengintip melalui jendela. Ternyata ada seorang santri yang dijemput pulang oleh bapak ibunya. Mobilnya hitam, mengkilap, dan berbodi besar.
Bapak dan ibunya melambai-lambai ke luar jendela layaknya pejabat yang lagi kunjungan ke kota kecil. Mereka berpamitan pada teman santri yang serayon dengan anaknya.
Aku duduk lagi membelakangi jendela. Seharusnya aku juga pulang seperti kawan-kawan. Minggu kemarin kami baru saja mengikuti ujian kenaikan kelas. Tapi, boro-boro dijemput dengan mobil bagus, dapat telepon atau kiriman uang saja sudah syukur.
Tak lama, pengeras suara dari rumah Gus Sahal berbunyi, "Panggilan untuk Arai Mustofa. Ditunggu di kesantrian."
Rumah Gus Sahal dan kesantrian memang satu bangunan. Hanya terpisah oleh lantai. Lantai pertama sebagai kantor. Lantai kedua sebagai tempat tinggalnya.
Pondok cabang ini dibangun di tanah yang tidak terlalu luas. Dengan berdiri di tengah-tengah lapangan, semua bangunannya bisa terlihat.
Tidak ada gerbang menjulang dan pagar megah yang biasanya terlihat di pondok pesantren kota. Pondok yang letaknya di pegunungan ini dijepit hutan, sawah, dan perkampungan warga.
Santri Al-Ukhuwah bisa bebas keluar masuk wilayah pondok. Tidak ada pembatas sama sekali. Namun, anehnya tidak pernah ada kasus santri keluar pondok pada jam belajar atau pada jam malam. Kebebasan mungkin menumbuhkan rasa tanggungjawab lebih daripada yang bisa dilakukan kerangkeng.
Gus Sahal pernah bilang, "Barangsiapa yang keluar pondok pada jam-jam terlarang dalam qanun yang telah kita sepakati, pondok akan berlepas diri dari kalian."
Perkataan itu sebetulnya tidak mengerikan kalau saja Gus Sahal tidak menampakkan senyum aneh sambil memandang hutan tepat di sela-sela bangunan pondok. Seakan-akan menyatakan bahwa bahaya di luar sana di luar tanggung jawab pondok.
Karena alasan yang sama, aku jadi ngeri mengeksplor lingkungan sekitar pondok tanpa arahan asatiz. Kalau sudah waktunya pun kami akan diajak berkeliling. Entah berkunjung ke rumah warga, ke sawah membantu petani, atau ke hutan demi memanen sarang lebah hutan—hal ini yang paling kusenangi. Pulang dari hutan, muka teman-temanku bisa tampak seperti balon yang terikat banyak karet—menggelembung tak beraturan. Selalu ada cerita baru bila kami sudah diminta berburu madu hutan.
Pondok Al-Ukhuwah begitu sederhana. Bangunan tertingginya hanya mencapai tiga lantai. Berupa ruang kelas dan rayon dengan kapasitas 30 santri per rayon. Kamar mandinya memanjang dengan satu bak yang menyatu dari ujung ke ujung dengan jumlah bilik yang sedikit.
Jangan bayangkan seberapa cepat kami harus berlari dan seberapa lama kami harus bersabar kalau kedapatan antrian paling terakhir. Apalagi ketika jam pertama adalah mata pelajaran fikih yang diajar ustaz killer. Duh, aku sering tidak mandi pagi karena hal tersebut dan akan curi waktu mandi saat jam istirahat.
Menuju kesantrian yang letaknya tepat di samping masjid, aku hanya perlu berjalan sekitar dua puluh kaki. Mas Topan menyambutku di kesantrian.
"Eh, cepat sini! Mbokmu telepon!"
Aku melompat dan meraih gagang telepon kantor dengan lekas.
"Halo, Buk? Kenapa?"
"Halo, Rai?"
Aku baru mangap ketika Ibu memotongku dengan cepat.
"Ibuk nggak bisa lama-lama e. Pulsa mahal. Ibuk sudah kirim uang ke pondokmu. Kamu pakai buat kebutuhanmu di sana. Hari ini ibu mau urus surat cerai biar bisa cepat nikah lagi sama perwira. Kamu pasti mau ikut Ibuk to, Le? Baik-baik di sana, ya. Jangan buat ulah. Jangan minta pulang terus. Sudah, yo?"
"Nikah? Apa? Aku—Buk?"
Tut-tut-tut.
Aku melirik Mas Topan yang menunggu teleponnya kembali. Namun, rasanya memalukan kalau dia tahu ibuku sudah mematikan teleponnya sebelum aku mengatakan sesuatu. Jadi, aku memutar badan dan mulai mengoceh sendiri.
"Oh? Iya, Buk. Alhamdulillah Arai baik-baik di sini. Ibuk gimana? Oh gitu ... ya-ya-ya. Nanti aku minta uangnya ke Mas Topan. Iya, Bu ... he-em ... waalaikumusalam."
Aku mengembalikan gagang telepon ke tempatnya semula. Lalu berterima kasih pada Mas Topan sambil berjalan menunduk ke arah pintu. Kepalaku mendadak berat.
"Eh, ini uang titipan mbokmu, Rai!"
Aku kembali lagi masih sambil menunduk. Mas Topan memberiku empat lembar uang warna merah dari laci. Uang sebenarnya ditransfer langsung ke rekening pondok yang dicairkan oleh pengurus.
Setelah uang masuk ke saku celana, aku buru-buru pergi keluar. Namun, langkahku tertahan lagi di ambang pintu.
"Eh, hari ini ulang tahunmu, kan, Rai? Mbokmu nggak bakal jemput?" tanya Mas Topan.
"Mau tumpengan ae di pondok opo piye?" tawarnya karena aku diam saja.
Aku menggeleng cepat. "Nggak usah repot-repot, Mas. Lagian bukan budaya kita ngerayain ulang tahun."
Mas Topan tertawa sambil manggut-manggut. Aku pun benar-benar pamit kali ini.