Tulah Badar

Ana Latifa
Chapter #3

Terjebak di Soerabaja

Karena tidak mampu menjelaskan apa-apa, orang bersenjata itu menarik bajuku, memaksaku bangun dan ikut dengannya. Aku hanya bisa pasrah, tidak berani macam-macam. Takut moncong senapan itu terarah lagi ke mukaku.

Sepanjang melewati pasar, aku mencoba mengamati sekitar. Pasar ini tidak ada bedanya dengan pasar kampung di dekat pondokku. Toko-toko akan berjejer, sementara emperan tokonya digunakan sebagai lapak bersama dari pedagang yang menyebar dagangannya di atas tampah. Sayur-mayur, buah-buahan, kain-kain, bahkan aksesoris seperti jam tangan dijual semuanya. Namun, aku masih merasa sangat asing dengan suasana yang ada. Apalagi dengan tidak adanya satu pun kendaraan bermotor yang melintas. Semua orang berjalan kaki.

"Jalan yang betul!" Orang itu menyentak lenganku, memaksaku melihat ke arah depan.

Aku menunduk dan berhenti melihat-lihat lalu tersadar sebuah keanehan. Mengapa hampir seluruh perempuan di sini berkebaya?

*

Aku diseret menuju sebuah bangunan yang mirip dengan rumah nenek. Atap bangunan itu berupa genteng merah yang memanjang, jendela dan pintunya model rangkap berbahan jati berwarna hijau. Papan nama bangunan tersebut tidak sempat kulihat karena ditarik masuk cepat-cepat.

Begitu masuk, suasana rumah nenek semakin kental apalagi dengan ketiadaan keramik karena masih menggunakan campuran semen dan pasir yang kukenal dengan sebutan tegel sebagai lantai. Ada banyak meja dengan tumpukan kertas di tiap-tiap mejanya. Setiap meja dijaga seseorang yang berpakaian persis seperti orang yang menangkapku.

Aku pun dipaksa duduk di salah satu meja. Perhatianku dipaksa fokus pada orang yang duduk di depanku. Aku melirik sedikit dan menemukan keberadaan penjara berada di sudut bangunan. Melihat gelagat menyeramkan dan mengintimidasi dari orang-orang di dalam bangunan ini kuyakin bangunan ini adalah kantor polisi. Tapi, kenapa segalanya tampak lawas?

"Hei, jawab!"

Aku sudah mendiamkan banyak pertanyaan darinya. Lelaki itu murka, tetapi aku sudah terlalu bingung untuk merasakan takut. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Mataku terkunci pada ceceran koran di mejanya yang berbahasa asing. Het Nieuws Van Den Dag. Hei, bukankah itu bahasa Belanda?

"Siapa kau? Semua orang yang tinggal di sini harus melapor!"

Bibirku menggigil meski aku tidak sedang kedinginan. Mengucapkan satu kata pun rasanya sulit. Sampai dia menyentak meja, aku pun menjerit cukup kencang.

"EM-EMBAH ASRORI! Saya berasal dari pondok Al-Ukhuwah, Pak! Tapi pengurus pondok saya tiba-tiba menghilang, nggak tahu pergi ke mana. Saya nggak tahu apa-apa, Pak," kataku takut-takut.

Temannya pria itu datang. Wajahnya kelihatan Indonesia sekali, tetapi mereka bercakap-cakap dengan bahasa yang tidak mampu kupahami. Seperti suara yang dihasilkan dari pangkal tenggorokan. Namun, dari raut wajahnya aku mengerti dia sedang ingin tahu soal diriku dari temannya.

"Al-Ukhuwah? Pondok di dekat sini?" tanya lelaki yang akan kupanggil Meneer. Berbeda dengan kebanyakan orang yang berkulit sawo matang, orang di depanku itu kulitnya putih dan hidung pinokionya mirip dengan orang-orang di buku sejarah penjajahan Belanda.

"Ya-ya-ya," jawabku cepat.

Teman Meneer pun menghampiri lemari dan mengambil arsip tebal. Dia mencari-cari sesuatu di sana. Ketika dia menggeleng, paru-paruku berhenti bekerja.

Meneer di depanku memelotot. Telunjuknya teracung-acung. "Jangan coba-coba kau membodohi kami! Jangankan pondok pesantren, setiap guru kalian yang ingin mengajar saja harus melapor pada pemerintah Nederlands. Kalau pondok itu betulan ada, seharusnya sudah tercatat di dokumen kami."

Aku merapat kursi. Mukaku tersiram ludahnya. Ya Allah, aku ada di mana sekarang?

"Sa-saya cuma mau pulang, Pak," kataku merengek.

Pulang? Kata itu nyaris membuatku tertawa meledek pada diriku sendiri. Pulang ke mana, Rai? Ibuk akan nikah lagi. Bapakmu nggak tahu pergi ke mana. Sudah nggak ada pulang lagi untukmu.

Teman Meneer menatapku dingin. Dia pun berbisik pada Meneer hingga mendapat sebuah anggukan darinya.

Aku menangkap sebuah isyarat berbahaya, apalagi ketika temannya Meneer itu bergerak maju. Lebih cepat daripada kedipan mata, aku sudah melompat ke luar kursi hingga kursi terjatuh lantas lari secepat angin.

Beberapa tangan hampir meraih badanku, tetapi gerakanku lebih gesit.

"Hei, tangkap penyusup itu!"

Segerombolan polisi mengejarku.

*

Aku berlari menjauhi kantor polisi. Menembus jalanan yang lengang karena tidak banyak kendaraan yang melintasi jalan. Namun, aku salah perhitungan. Aku nyaris tertabrak sebuah mobil bertipe Falcon. Aku belum tahu apa mereknya. Warnanya hitam, berbodi rendah dengan dua lampu bulat menonjol di bagian depan. Beruntung, pengemudi mampu mengerem mobilnya tepat waktu. Aku menepuk-nepuk kap mobilnya. "Maaf-maaf, Pak!"

Sebelum sempat pengemudinya keluar, aku sudah berlari menembus gang kecil. Aku tidak melihat apa-apa lagi. Pandanganku buram saking cepatnya aku berlari.

Aku terus berlari sampai napas hampir putus. Setelah yakin sudah tidak terkejar, aku merebah di rerumputan pinggir kali. Lututku sakit sekali. Di belakangku, ramai delman kuda dan mobil-mobil antik melintas.

Aku mengatur napas untuk sejenak. Aku khawatir polisi telah menandai pakaianku meski hanya berupa koko persis seperti beberapa pakaian pejalan kaki lain. Aku melihat ada kaus yang ditinggal di rerumputan. Aku mengganti pakaianku dengan kaus kumal tersebut. Baunya hampir menyerupai tanah yang dihujani berkali-kali. Aku pun pergi sambil merobek-robek pakaianku dan melemparnya ke dalam tong yang sedang membakar sampah. Bahkan, aku ikut membakar kopiahku.

Kopiah hilang bisa dicari lagi. Kalau nyawa, tidak.

Aku berjalan terus hingga tiba di sebuah jembatan berwarna merah. Jembatan ini terkesan tidak asing. Sepertinya aku pernah melewatinya kalau pulang dari pondok. Namun, suasananya tidak damai seperti saat ini. Jembatan ini seharusnya dilewati banyak kendaraan beremisi karbon, bukannya pejalan kaki dan pesepeda.

Sebenarnya, aku ada di mana, sih?

Aku tidak mungkin kembali ke pasar. Selain lupa jalan, aku takut ditangkap oleh Meneer. Dia pasti sudah membuat pengawasan ketat.

Aku pun berjalan lagi melewati loper koran. Sambil melintas, aku mengintip judul-judul berita di koran tersebut. Baru sampai pada koran pertama, mataku nyaris keluar dari tempatnya.

OETOSAN HINDIA 1942

Diterbitkan tiap hari ketjoaeali hari Ahad dan Djoemahat - Soerabaja

Aku terdorong mundur oleh keterkejutan sampai jatuh ke aspal.

"Eh, kenapa, Dik?" Loper koran menghampiriku, membantuku bangkit.

"Sekarang tahun 1942, Pak?"

Bapak berkumis itu memandangiku heran lalu tertawa hambar. "Loh, Adik ini memangnya tidak jalan-jalan ke Willemsplein saat malam tahun baru? Para pemuda kemarin ramai-ramai kumpul di taman itu. Tentu sekarang tahun 1942 setelah kemarin melewati tahun 1941."

Mataku memburam tiba-tiba. Cairan tubuhku seperti bocor dan terserap ke tanah. Kepalaku memberat dan berkunang-kunang. Aku melangkah mundur lagi lalu jatuh lalu aku tidak ingat apa pun lagi.

*

Lihat selengkapnya