Ia pria paruh baya yang ramah. Senyumnya manis menawan. Itu karena lesung pipinya. Pria itu memiliki tipikal wajah khas Arab. Hidungnya mancung, posturnya tinggi. Meski batang usia digerus waktu, pria berdarah Jawa-Arab-Betawi itu tak kehilangan kegagahannya.
Seluruh karyawan Refrain Radio memanggilnya Abi Assegaf. Benar, owner Refrain Radio itu menyandang marga Assegaf di belakang namanya: Zaki. Tapi ia lebih akrab dipanggil Abi. Mungkin lantaran sifat fatherly dan caranya menebarkan kasih sayang untuk semua orang.
Tak percaya Abi Assegaf penyayang? Lihatlah apa yang dilakukannya siang ini. Dengan halus, diketuknya pintu ruang siaran. Pelan mengucap salam, dilangkahkannya kaki memasuki ruangan berpendingin udara dan berkarpet tebal itu.
“Adica anakku...” panggilnya halus, duduk di samping sang penyiar muda nan tampan.
Refleks si pemilik nama mengangkat wajah dari lembaran naskah filler yang tengah dibacanya. Ia mendapati Abi Assegaf tersenyum padanya, memperlihatkan lekuk menawan di kedua pipi.
“Makan dulu, Nak. Saya bawakan ini untukmu.” Abi Assegaf menyodorkan kotak putih berisi nasi Biryani. Empat-lima kali seminggu Abi Assegaf rutin melakukan hal itu.
“Ah, harusnya Abi tak perlu repot-repot. Terima kasih, Abi.”
Siapa bilang pria berlesung pipi itu merasa direpotkan? Ia telah menganggap Adica seperti anak kandungnya sendiri. Kasih sayang, perhatian, waktu, dan materi ia berikan untuk pegawai kesayangannya itu. Tak sadar menuai rasa iri para penyiar lainnya.
“Anakku, apa tidak sebaiknya kamu berhenti saja menjadi loper koran? Masih kurangkah gajimu di sini? Kalau masih kurang, biar kuberi bonus...” kata Abi Assegaf tetiba.
“Maaf, Abi. Saya belum bisa berhenti.”
“Kenapa?”
Pertanyaannya terjawab usai durasi jam siaran Adica berlalu. Seperti biasa, pemuda yang telah banyak berubah itu bersiap pergi ke makam Michael Wirawan. Abi Assegaf minta ikut. Adica tak bisa menolak. Alhasil, keduanya ke makam dengan Honda Jazz milik Abi Assegaf.
Di depan makam Papanya, Adica berlutut. Ia tenggelam dalam kesedihan dan kenangan. Sesaat lupa seorang pria penyayang berdiri di sisinya.
Hati-hati disiramkannya air dan diletakkannya bunga tabur. Makam itu selalu bersih dan terawat. Setelah membaca Yasin, Adica bangkit. Diajaknya Abi Assegaf meninggalkan kompleks pemakaman. Lima puluh meter dari pemakaman, terdapat taman kecil penuh bunga mawar putih, lily, anggrek, dan krisan. Ke sanalah Adica membawa atasannya.
Abi Assegaf berjalan dalam diam. Senyumnya lenyap. Tergantikan haru. Adica anak yang berbakti pada Papanya, walau sang Papa telah pergi. Beruntungnya Abi Assegaf bila memiliki anak sebaik itu.
Tiba di taman, Adica membuka tas biolanya. Ia memainkan biola. Mengalunkan nada-nada indah. Lalu ia bernyanyi.
Maaf ku telah menyakitimu
Ku telah kecewakanmu
Bahkan kusia-siakan hidupku
Dan kubawa kau seperti diriku
Walau hati ini terus menangis