Broken Partita

princess bermata biru
Chapter #7

Lonceng Gereja, Air Mata, dan Cerita Duka

Kelima gadis dan pemuda itu tertawa, bercanda, dan bernyanyi di mobil. Perjalanan jauh tak lagi terasa karena mereka sangat menikmatinya. Segala rasa sakit, sedih, dan luka terangkat perlahan.

“Dinda...dimana kau berada.” Calvin, Silvi, Revan, Adica, dan Anya bernyanyi bersamaan.

Mereka saling lirik. Awalnya tak suka lagu yang terputar di radio mobil, tapi lama-lama mereka menyukainya. Abi Assegaf hanya tersenyum. Lekat memperhatikan mereka dari kaca. Ia senang menyaksikan keakraban mereka berlima. Tak sia-sia ia simpan Honda Jazz merahnya di garasi dan ganti mengendarai Toyota Vellfire untuk memastikan mereka tetap bersama pagi ini.

Sulit juga mendapat izin Dokter Tian. Setelah melalui diskusi alot, akhirnya Hematolog itu meluluskan permintaannya. Calvin dan Adica boleh keluar sebentar dari rumah sakit dengan satu syarat: kondisi mereka harus dipantau ketat selama bepergian.

“Katanya nggak suka, kok kamu hafal liriknya sih?” Anya menanyai Adica, mengedip nakal.

“Aku kan penyiar radio. Harus punya wawasan musik yang luas, Anya.” jawab Adica sabar.

Anya mengangguk. Sedetik kemudian, Silvi mencolek lengannya.

“Memangnya broadcaster aja yang punya pengetahuan musik? Aku, Calvin, dan Revan juga gitu kaliii...tahu kan reputasi kami?”

“Iya, tahulah. Satu mantan peragawan yang sekarang lebih suka jadi blogger, satu mantan penyiar, satunya lagi masih aktif jadi model.”

Mendengar perkataan Anya, senyuman Calvin memudar. Pemuda berkacamata itu terpaksa mengubur mimpinya untuk meneruskan karier sebagai peragawan. Berjalan biasa saja ia sering jatuh, bagaimana mau membuat gerakan memutar di runway? Semuanya berubah sejak leukemia menyerang.

“Sudahlah...kalau rezekimu di modeling, itu takkan kemana. Kamu kan bisa modeling lagi saat sudah sembuh nanti.” hibur Revan.

Calvin tertunduk dalam. Pertanyaannya, apakah dia bisa sembuh? Tak ingin terlalu lama larut dalam kesedihan, Calvin mengeluarkan iPadnya. Ia buka laman blog miliknya, ia tuliskan artikel di dashboard. Selesai, lalu posting.

Bila Calvin menyibukkan diri dengan blognya, Revan dan Silvi asyik dengan kamera mirrorless. Adica melempar pandang rindu ke arah kamera di tangan mereka berdua. Sudah lama ia tak hunting foto lagi. Kameranya ada di rumah keluarga Wirawan. Satu-satunya benda pemberian Michael Wirawan yang masih ia miliki hanyalah biola.

“Adica anakku, kamu rindu kameramu ya? Nanti Abi belikan...” ujar Abi Assegaf halus.

“Tidak usah, Abi. Aku...”

“Terima saja. Abi kan sayang banget sama kamu.” sela Anya.

Mobil hitam itu melaju menaiki bukit. Udara bertambah sejuk. Barisan pepohonan berjajar di kanan-kiri. Silvi mencuri momen, memotreti pemandangan indah itu. Revan berbaik hati meminjamkan kameranya pada Adica, membiarkan pemuda itu mengambil gambar demi gambar.

Mereka melewati kebun teh, beberapa cafe, dan pabrik susu. Tak lama, mobil berhenti di depan dua bangunan putih: sebuah villa mewah berkamar tiga dan sebentuk gereja kecil. Demi melihat dua bangunan putih itu, Anya terbelalak kaget.

“Abi, ini kan rumah Oma...” desis Anya.

Wajah Anya berubah sendu. Refleks ia merapatkan tubuh pada Adica. Dengan lembut, Adica memeluknya. Menenangkan Anya tanpa kata.

Ketika Anya tak juga tenang, Adica memainkan biolanya. Calvin cepat tanggap. Ia keluarkan piano digital, piano mahal dengan sampling suara dari grand piano. Tanpa rencana, Adica dan Calvin memainkan instrumen musik mereka.

Tak pernah kubayangkan secepat ini

Aku takutkan pernah terjadi adanya

Perbedaan mengalahkan rasa

Dan kita menyerah kalah akan keadaan

Kauputuskan pergi

Melepaskan kita

Tuhan kita cuma satu

Kita yang berbeda

Lihat selengkapnya