Dalam tidurnya, tetiba Calvin terbatuk. Darah mengalir, membasahi bibirnya. Saat terbangun, tak meremas tangan halus yang menggenggam lembut jemarinya. Pemilik tangan putih nan mulus itu tersentak bangun.
“Masya Allah...kenapa, Calvin?” bisik Silvi lembut.
Jangan tanya kenapa Adica terbangun di sepertiga malam. Itu sudah menjadi kebiasaannya, sehat ataupun sakit. Ketika membuka mata, hal pertama yang dilihatnya adalah Abi Assegaf yang tertidur kelelahan dengan kepala tersandar di pinggir ranjang. Dengan tulus, pria blasteran Arab itu menjaganya semalaman. Sampai-sampai ia tak peduli dengan waktu tidurnya sendiri.
Pandangannya tertumbuk ke arah benda persegi panjang terbungkus kertas coklat. Selembar catatan kecil tertempel di bungkusnya: For My Lovely Son. Ternyata isinya kamera mirrorless. Abi Assegaf menepati janji. Dengan sedih bercampur haru, Adica menimang kamera baru itu. Lekat menatapi wajah ayah keduanya.
“Abi, maafkan aku...”
“Jangan minta maaf. Muntahkan, Calvin.”
Calvin muntah darah. Beberapa saat lamanya pria tampan itu memuntahkan darah segar. Memenuhi benda perak di tangan Silvi dengan cairan merah.
Mata Silvi mengerjap. Bulu matanya yang lentik bergerak. Awan-awan menggumpal di bola mata dan wajah cantiknya.
Wajah cantik itu, Adica terpana. Baru saja tatapannya berpindah ke tengah ruangan. Dilihatnya seraut wajah cantik berbalut hijab putih tertunduk ke lantai dalam posisi sujud. Lama bersujud, pemilik wajah cantik bangkit lagi. Kedua tangannya terlipat, matanya terpejam seraya memfokuskan pikiran pada sesuatu. Terasa sejuk hati Adica melihat gadis cantik itu Tahajud. Tak seperti kebanyakan wanita Muslim Indonesia yang mengenakan mukena saat shalat, Anya lebih memilih shalat dengan abaya Turki. Shalat? Ya, memang sudah saatnya.
“Silvi, aku ingin Tahajud.” pinta Calvin.
Silvi mengangguk. Pelan membantu Calvin turun dari tempat tidur. Memapahnya ke kamar mandi. Membantunya berwudhu, lalu memakaikannya jas. Shalat dengan gaya Turki dan Timur Tengah lebih nyaman untuk Calvin. Sejak kecil, ia tak kenal namanya sarung, kopiah, dan baju koko. Calvin terbiasa hanya shalat dengan memakai jas.
“Kau jadi Imamku malam ini, Calvin.” kata Silvi seraya menyampirkan hijab untuk menutupi rambut panjangnya.
Silvi tak perlu berganti baju untuk Tahajud. Maxi dressnya sudah cukup panjang. Tinggal ditutup hijab Turki saja. Gadis Manado Borgo bermata biru itu shalat diimami Calvin. Malaikat tampan bermata sipit shalat Tahajud ditemani putri cantik.
Baru saja ia akan beranjak bangkit dari ranjang, tulang-tulangnya terasa sakit. Sakit sekali. Jangan katakan ini efek samping kemoterapi. Adica kesulitan berpindah posisi. Dengan sedih, ia lakukan ibadah sunnah itu sambil berbaring. Ia merasa semuanya tak sempurna. Berulang kali kata maaf ia sampaikan pada Tuhannya. Tak tahukah dirinya bila Tuhan Maha Baik?
“Aku tahu, ya Allah. Aku tahu Kau punya skenario hidup terindah untuk setiap makhluk ciptaanMu. Maka kumohon padaMu, pertemukanlah aku dengan adikku sebelum Izrail menjemputku...” doa Calvin dalam sujudnya.
**
Dalam sujud ku melihat semua
Cerminan diri yang lawas
Menangisku tersirat sebuah tanya
Masihkah ada kesempatan untuk diriku
Allah
Menghapus segala salahku
Selama nafas masih ada
Ku ingin untuk kembaliDi jalan cinta-Mu Ya Allah
Ampuni aku
Sayangi aku (AB Three-Sujudku).
Begitu panjang doa-doa Silvi. Anya menangis dalam sujudnya. Adica terbayang semua kesalahannya di masa lalu, kepingan-kepingan kenangan manisnya bersama Michael Wirawan. Malaikat tampan bermata sipit memohon, terus memohon.