“Warta berita pagi selengkapnya dibacakan Zaki Assegaf.”
Suara radio menyatu dengan denting hujan. Pagi itu sangat dingin. Awan hitam bergulung-gulung menakutkan di langit. Terlalu dingin untuk beraktivitas di luar rumah, namun pemuda tampan itu nekat menggotong pesawat radio dan biolanya ke balkon kamar.
Tempias hujan menampar-nampar lantai marmer. Hawa di balkon tinggi sedingin es. Beberapa ornamen kayu yang terpajang di dekat pagar balkon sedikit basah. Dua pelayan yang berjalan bolak-balik membersihkan lantai melipat kening. Heran melihat tuan mudanya nekat ke balkon di tengah hujan deras begini.
“Ganteng tapi nyentrik ya,” bisik seorang asisten rumah tangga dengan gulungan rambut.
“Sssttt ... malah komen aneh-aneh. Tuan muda kan lagi sakit. Nanti malah tambah sakit kalo dibiarin di sini terus.”
“Siapa yang sakit?” sela Adica, tubuh tingginya membayangi pergerakan dua pelayan itu.
“Bukan aku. Aku tidak sakit.” bantah Calvin bandel.
Silvi menggigit bibirnya. Nyaris saja ia menyerah melawan sisi keras kepala Calvin. Permintaan Calvin aneh sekali pagi ini: ia minta ikut Silvi ke kampus. Rindu suasana perkuliahan, begitu katanya. Banyak pemuda seumurannya lebih memilih libur dan menikmati waktu santai. Namun Calvin tidak. Pemuda orientalis berkacamata itu malah merindukan almamaternya.
“Ok fine, tapi ... kamu harus pakai ini.” kata Silvi, membawa kursi roda.
“Take it, or leave it.”
Tidak, Adica takkan meninggalkan balkon ini. Meski tubuhnya kedinginan, meski rasa sakit mulai hadir. Ia tetap di sana. Menikmati dinginnya udara sambil mendengarkan siaran Abi Assegaf. Saat jeda iklan, Adica bermain biola. Seorang pelayan datang membawa nampan perak berisi setangkup roti, segelas susu, dan beberapa tablet obat.
“Tuan muda, apa sebaiknya Tuan tidak kembali ke kamar saja? Dingin sekali ....”
Tak sempat ia menjawab. Susu hangat di gelasnya baru setengah jalan ia reguk. Rasa mual naik ke perutnya. Mual yang menghebat, membuatnya muntah dan gagal menelan. Adica kembali muntah ketika menggigit potongan rotinya. Begitu parah rasa mual itu hingga membuatnya tak bisa makan.
“Parah...kenapa kamu ajak Calvin ke sini?” bisik Revan marah saat melihat SUV putih itu menepi. Firasatnya tak enak. Namun, mana mungkin dicegah? Pria berambut pirang dan bermata biru itu mendesah. Pasrah ditatapinya Silvi yang tengah mendorong kursi roda Calvin pelan-pelan.
Pelan, satu pelayan lainnya menggeser pintu kaca. Kembali dibersihkannya lantai yang terkena sisa muntahan. Adica tak enak hati. Ia telah merepotkan pelayan itu. Pandangannya tertumbuk ke arah tas kecil di sudut sofa. Ketika dibuka, isinya tab. Tulisan tangan Anya tertera di bagian belakang tas itu. Tahulah Adica, barang penting gadisnya tertinggal. Hanya orang apatis miskin inisiatif yang akan diam saja.
**
Sabar, sabarlah cintaku
Hanya sementara
Kau harus dengannya
Kau harus bersamanya kini
Sabar, sabarlah cintaku
Takkan selamanya
Karena sebenarnya
Kau tahu sesungguhnya aku
Aku yang paling kaucinta
Aku yang paling kaumau
Rahasiakan aku sedalam-dalamnya cintamu