Mengenang masa lalu memang mengasyikkan. Lihat saja ekspresi tiga pria tampan beda generasi itu. Beda etnis pula. Meski berbeda, mereka disatukan oleh cerita.
"Lanjutkan, Abi." pinta Adica, menatap Abinya penuh perhatian.
Pria berlesung pipi di sampingnya mengangguk, lalu mulai melanjutkan. Dua pria lain yang lebih muda, dengan wajah orientalis menawan, tekun menyimak. Calvin sesekali menaik-turunkan alis, memperlihatkan ekspresi antusias bercampur tak percaya. Interesting, pikirnya. Dan sangat berani. Apa pun bisa dilakukan demi cinta. Apa pun akan dilakukan untuk meluluhkan hati perempuan yang membeku.
**
Dan kau hadir
Merubah segalanya
Menjadi lebih indah
Kaubawa cintaku setinggi angkasa
Dan buatku merasa sempurna
Dan membuatku utuh
Tuk menjalani hidup
Berdua denganmu selama-lamanya
Engkaulah yang terakhir untukku (Adera-Lebih Indah).
**
Terlambat, satu kata yang dibencinya. Ia benci terlambat. Sama saja tak disiplin, tak tepat waktu.
Langkah pria muda blasteran Arab-Indonesia itu sontak melambat. Sudah ada yang duduk manis di ruang siaran. Siapa dia?
Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Iris matanya menangkap seraut wajah cantik. Cantik sekali. Demi Allah, bahkan lebih dari sekedar cantik.
Tergetar, sungguh tergetar hati melihatnya. Hati ini, yang telah dijaga begitu lama, roboh juga pertahanannya. Kaki pria muda itu gemetar hebat. Aliran darahnya berdesir cepat.
"Assegaf, kau lihat apa?"
Deddy dan Sasmita terburu-buru mendekat. Gelas lemon tea tergenggam di tangan mereka.
"Siapa itu...?" tanyanya lirih, menunjuk wanita cantik di kotak siaran dengan dagunya.