Bunyi roda-roda kursi beradu dengan permukaan paving block. Tanpa canggung, Silvi mendorong kursi roda Calvin menyusuri gedung fakultasnya. Semua mata tertuju pada gadis cantik itu. Silvi Gabriella Tendean, putri kampus, Manado Borgo yang jelita, bersama pemuda tampan berkacamata di atas kursi roda. Bisikan-bisikan terdengar. Wajah-wajah keheranan menyeruak.
“Parah ya. Cowok nggak tahu diri. Udah tahu sakit-sakitan, masih egois mau sama Silvi.”
“Dari pada sama cowok penyakitan kayak gitu, mendingan sama aku.”
“Masa putri kampus pasangannya sama cowok nggak sempurna?”
Silvi tetap tenang. Begitu pula Calvin. Namun, jauh di dalam hati, tersimpan debur rasa bersalah. Calvinlah yang bersalah. Ia merasa tak pantas untuk Silvi. Mental block berupa bisikan-bisikan sarkastis terus mengikuti.
Bisikan angin pantai menyelusup masuk lewat celah di dinding kaca. Abi Assegaf berjalan memutari balkon tinggi, menetralisir resahnya. Dua botol Hatten Wines tergenggam di tangannya. Hatten Wines, minuman beralkohol di Indonesia. Perusahaan wine yang didirikan di Bali pada tahun 1994 oleh Ida Bagus Rai Budarsa. Dengan perkebunan sepanjang pantai Utara Bali (Kabupaten Buleleng), Hatten Wines menggunakan anggur hitam lokal jenis Alphones-Lavalleé, French table grapes, anggur putih lokal Belgia, dan anggur Probolinggo biru. Sedikit orang yang tahu, di Indonesia pun ada merk-merk minuman alkohol macam Hattens Wine yang diakui dunia.
Tak semua orang Indonesia menerima alkohol. Begitu pula Abi Assegaf. Ia sangat anti minuman keras. Celakanya, dua botol Hattens Wine itu dia temukan di kamar Adica.
Abi Assegaf terlalu pintar untuk dibodohi. Mana mungkin ia percaya jika anak angkatnya minum alkohol? Dari rekaman CCTV, terungkaplah siapa pelakunya. Tak disangka, Deddy dan Sasmitalah yang menaruh benda-benda laknat itu. Awalnya mereka mendatangi rumah mewah di pinggir pantai seolah kunjungan biasa. Mereka datang ketika Abi Assegaf menemani Adica di rumah sakit. Lantaran sudah terbiasa, mereka dibiarkan para pelayan naik ke lantai atas. Saat itulah mereka berdua menebar kelicikan.
Sedih merayapi hati. Abi Assegaf kecewa, kecewa sekali pada dua teman lamanya. Beraninya Deddy dan Sasmita menggunakan minuman beralkohol untuk memfitnah orang lain. Biarlah putra angkatnya itu tak usah tahu ada dua botol minuman haram yang diselundupkan ke kamarnya. Abi Assegaf sangat pintar menjaga rahasia. Dengan sedih, dibuangnya botol-botol berisi penuh itu ke tempat sampah. Kelakuan Deddy dan Sasmita tak bisa dibiarkan.
“Aku tak bisa biarkan mereka terus menghinamu, Calvin.” kata Silvi geram.
Acara pematerian dari para alumni putri kampus telah usai. Kini, Calvin dan Silvi duduk bersisian di sebuah cafe bernuansa vintage. Sesal menyergap hati Silvi. Tak seharusnya ia memaksakan diri membawa Calvin keluar dari rumah sakit untuk menemaninya. Andai saja ia mendengarkan kata-kata Dokter Tian.
“Bukan hinaan, Silvi. Tapi kenyataan. Aku memang sakit...aku memang tidak berguna.” kata Calvin jujur dan apa adanya.
Mendung menggumpal di mata biru Silvi. Melawan kesedihan, dilepasnya genggaman tangan Calvin. Ia naik ke atas panggung dan mulai bermain piano. Tatapannya terfokus pada Calvin selama membawakan lagu.
Lagu itu dialunkan dengan lembut oleh senar-senar biola. Musiknya teramat lembut, menyentuh ke titik nadir di dalam hati. Tanpa sadar, Abi Assegaf mendorong pintu kaca, kakinya membawanya meninggalkan balkon.
Abi Assegaf bernyanyi lembut. Silvi menyanyikan lirik dengan merdu. Di atas tempat tidurnya, dalam rasa sakit, Adica bermain biola. Bibir Calvin bergerak, menggumamkan lirik tanpa suara.
Tenanglah, kekasihku
Ku tahu hatimu menangis
Beranilah dan percaya
Semua ini pasti berlalu
Meski takkan mudah
Namun kau takkan sendiri
Ku ada di sini
Untukmu aku akan bertahan
Dalam gelap takkan kutinggalkan
Engkaulah teman sejati kasihku
Di setiap hariku
Untuk hatimu ku kan bertahan