Tum (1995-1999)

Ais Aisih
Chapter #29

Meminta Penjelasan

Minggu pagi yang dingin, Tum sengaja pergi ke rumah Aang untuk menemui Pak Sam. Tiba-tiba suara teriakan Aang tertangkap gendang telinganya. Gadis kecil itu langsung berlari ke kamar kecil di pinggir kandang kambing. 

Berserakan sekali nasi dan lauk di lantai tanah. Bu Sam memunguti nasi yang tumpah sambil mengomel. 

"Ang, Ang. Hidupmu sungguh merepotkan kami. Nasi sama lauk susah kita mencarinya, malah dibuang-buang." Kalimat Bu Sam begitu nyelekit. Tum amat sedih mendengarnya. Orang tua Aang ternyata sekeras itu. Tum pikir hanya Mamak saja yang galak.

Teriakan Aang terhenti saat dua matanya tidak sengaja melihat keberadaan Tum di gawang pintu. Pak Sam dan Bu Sam langsung menoleh ke Tum.

"Syukurlah kau datang, Tum. Bantu aku menyuapi temanmu ini." 

"Baik, Bu. Tolong ambilkan nasi yang baru." 

Bu Sam membawa nasi yang sudah bercampur dengan tanah di dalam piring ke dapur. 

"Setelah menyuapi Aang, aku mau bicara sama Pak Sam," ujar Tum. "Lepaskan tangan Aang, Pak. Dia pasti kesakitan," pinta Tum pada ayah Aang. 

Tum mulai menyuapkan nasi ke mulut Aang. Awalnya Aang terus menggeleng-gelengkan kepala. Ia menolak untuk makan. 

"Ang, kau sungguh tidak ingat? Ini sayur kangkung dan tempe goreng kesukaanmu." Bujuk rayu Tum akhirnya berhasil. Aang mulai membuka mulut.

Setelah merasa tenang dan yakin sang putra bisa ditinggal, Pak Sam dan Bu Sam pergi. 

Tubuh Aang semakin kurus dan menghitam. Tum menghapus air matanya karena iba melihat kondisi Aang. 

"Nah, Ang. Lain kali kamu harus makan sendiri, ya. Aku nggak bisa setiap hari nemenin kamu makan. Soalnya aku harus sekolah."

Aang tidak menjawab. Ia hanya diam dengan tatapan kosong. Bahkan, sekadar mengingat apa itu sekolah, ia amat kesulitan. 

Pikirannya penuh dengan dendam-dendam yang tidak bisa ia luapkan. Memorinya hanya tertuju pada kejadian nahas malam itu. Adegan-adegan pemukulan yang dilakukan para pemuda salah tangkap membuat kepalanya merasakan sakit luar biasa. Aang mulai memegangi kepala. Ia berteriak-teriak seperti kesetanan. 

"Ang, tenanglah. Aku ada di sini." Tum mencoba meraih jemari-jemari Aang yang gemetaran. Dipeluknya tubuh Aang dengan lembut. 

Perlahan Aang bisa merasakan ketenangan batin. Ia menyadari masih ada yang baik dan tulus kepadanya. Aang melepas pelukan dan tiduran di atas selimut. 

Tum hendak ke dapur untuk menaruh piring bekas makan Aang. Bu Sam menghampirinya. 

"Tum, kau sungguh tidak takut sama Aang?" Bu Sam bertanya dengan nada heran. 

Tum menggeleng. "Sampai kapan pun, Aang itu sahabatku, Bu."

"Anak pemberani," puji Bu Sam menepuk-nepuk bahu Tum. 

"Bu, aku boleh minta tolong?"

"Katakanlah, Tum. Apa yang bisa kulakukan untuk membantu?"

"Aang pasti tidurnya kedinginan. Berilah dia kasur atau alas yang lebih tebal. Aku takut kesehatan Aang akan terganggu. Satu lagi, kuku Aang sudah panjang-panjang. Apa Bu Sam bisa memotongnya?" pinta Tum. 

Setelah itu, Tum menemui Pak Sam yang tengah duduk di lantai sambil menyandar di dinding yang terbuat dari anyaman bambu. 

Lihat selengkapnya