Tum (1995-1999)

Ais Aisih
Chapter #33

Warisan Leluhur

Begitu melihat sosok yang sudah lama dirindukannya, gadis kecil itu langsung terbangun dari tidurnya. Dengan cepat, ia memeluk tubuh kurus Bapak. Kerinduannya yang begitu dalam seolah tersalurkan saat Bapak membalas pelukannya dengan hangat.

"Pak, kapan Bapak pulang?" Tum menangis, suaranya bergetar.

"Aku pulang tadi pagi. Tapi kenapa kau malah terlihat sedih? Apa kau tidak bahagia dengan kepulangan Bapak, Tum?"

"Aku sangat senang. Aku hanya tak menyangka akhirnya Bapak pulang."

"Tum, kau sudah sadar? Aku sudah siapkan air minum dan makanan untukmu. Kau harus makan banyak. Aku selalu menyiapkan makanan tiga kali dalam sehari, berharap kau cepat bangun."

"Mamak sudah tidak marah lagi? Soal celengan itu ...." Tum ragu untuk membahasnya.

"Sudahlah, Tum. Aku sudah melupakannya. Yang terpenting sekarang adalah bisa melihatmu sehat kembali." Mamak terlihat meneteskan air mata. Sejahat-jahatnya Mamak, sebenarnya ia sangat peduli kepada putri-putrinya.

Mamak menyuapi Tum makan sambil mendengarkan Bapak yang sedang bercerita. Kepulangan Bapak bukan tanpa alasan.

"Aku tidak tahu kenapa terus-terusan kepikiran soal Tum, Mak. Ternyata memang ada yang ganjil. Selain itu, aku juga dapat kabar duka, Pak Lurah meninggal dunia."

Tum terkejut, beberapa butir nasi terlempar dari mulutnya. Mamak segera memberikan minum.

"Pelan-pelan makannya, Tum," tegur Mamak lembut. Tidak biasanya Mamak bersikap seperti ini. Tum pikir, karena Mamak pasti tidak rela kalau putrinya itu betulan pergi selama-lamanya.

"Pak Lurah meninggal? Kapan?" tanya Tum, masih terpana.

"Beberapa hari yang lalu, waktu kamu pingsan. Aku juga belum sempat melayat ke rumah duka."

Tum langsung kepikiran sama janji Pak Lurah yang akan mengaspal jalan Mbulu. Roman-romannya, kepergian Pak Lurah membuat impian warga Mbulu memiliki jalan yang mulus harus kandas.

"Kalian ngobrol saja dulu, sudah beberapa hari aku tak sempat mencuci pakaian. Cucian sudah menumpuk." Mamak pun pergi ke sumur untuk mencuci tumpukan baju.

"Apa yang kau rasakan setelah beberapa hari tidak sadarkan diri, Tum?" Bapak bertanya, tatapan matanya dipenuhi rasa ingin tahu.

"Aku pergi ke alam lain, Pak." Tum tersenyum sumir. Seperti Kakek, Bapak pasti tidak akan mengerti maksud Tum.

"Siapa yang membawamu ke alam lain, Tum?"

Tum salah menyangka. Bapak tidak seperti Kakek. Wajah Bapak tampak penasaran.

"Bapak tahu sesuatu?"

Bapak mengangguk.

Tum menelan ludah. "Apa yang Bapak ketahui?"

Bapak memandang Tum dengan tatapan tidak biasa. "Dulu, sebelum kau dilahirkan, aku sering memimpikan leluhur kita. Aku diberitahu oleh mereka bahwa kau adalah anak yang istimewa. Kau memiliki kekuatan supranatural warisan leluhur."

"Aku nggak ngerti maksud Bapak."

"Kau tidak perlu mengerti semua hal sekarang, Tum. Tapi saat beranjak dewasa nanti, aku yakin kau akan mengeti banyak hal dengan sendirinya."

Lihat selengkapnya