1995.
Tak akan ada satu pun orang menyangka. Salah satu dari tiga anak itu sedang diintai oleh malaikat maut. Ketiganya baru saja keluar dari sekolah. Yaitu TK Aisyiyah yang terletak di ujung Desa Kedungrandu. Tepatnya di pinggir Sungai Logawa. Sekolah mereka baru saja bubar.
Angin berembus lembut membelai pepohonan yang berdiri dan berjajar rapi di pinggiran jalan. Langit biru juga tampak begitu cerah. Seperti tidak ada tanda-tanda kematian yang hendak singgah.
“Ang, kalau nanti kamu sudah besar, cita-citamu mau jadi apa?” celetuk Tum bertanya pada Aang disertai gurat penasaran. Karena tadi ibu guru mereka baru menanyakan hal tersebut pada murid-murid. Jadilah terlintas di pikiran Tum menanyakan hal itu kepada sahabatnya. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka tidak menjawab. Seperti Tum, ia tidak tahu ingin menjadi apa. Cita-cita baginya hanyalah angan-angan yang masih terlalu jauh untuk dijangkau. Dunianya masih sekadar bermain. Dua puluh empat jam adalah waktu yang begitu panjang untuk menekuni hari.
“Ingin jadi orang waras,” jawab Aang ringan saja. Anak laki-laki itu sering ikut mendengar ceramah seorang kyai di radio bersama bapaknya. Akan banyak orang waras berperilaku seperti orang edan pada suatu zaman nanti. Dalam pengertiannya sendiri, Aang menafsirkan berarti akan ada banyak orang gila berpakaian compang-camping berkeliaran di pinggir jalan. Padahal, makna sebenarnya bukan itu. Akan tetapi, Aang telah menarik kesimpulan sebelum bertanya terlebih dahulu.
“Kenapa begitu?” Tum menghentikan langkah kakinya yang terayun. Menuntut jawaban yang membuatnya semakin penasaran.
“Kamu mau jadi orang gila?”
Tum menggeleng. Mau dikasih permen sekarung pun, ia tentu tidak akan mau jadi orang gila.
Di samping Tum, Alim hanya tersenyum dengan senyuman khas manis miliknya. Pada salah satu pipinya muncul sebuah cekungan yang dalam bernama lesung pipit. Alim lebih muda dari Tum setengah tahun. Ia merupakan adik dari Aang. Aang sendiri usianya sudah enam tahun, lebih tua setahun dari Tum. Alim memiliki perangai paling kalem di antara ketiganya.
“Tum, kalau kita sudah lulus sekolah TK nanti, kita harus mendaftar di SD yang sama, ya,” ujar Aang.
“Enggak mau ah, nanti uang jajanku dimintai sama kamu terus.” Tum berpura-pura memasang raut wajah jengkel. Di antara ketiganya, memang Tum memiliki uang jajan yang paling banyak. Dua kakak beradik itu jarang sekali dikasih uang jajan sama orang tuanya. Itu karena keluarga Aang dan Alim tidak lebih beruntung dari keluarga Tum. Mereka bisa bersekolah TK saja sudah untung. “Biar aku satu sekolah sama Alim saja.”
Alim cengar-cengir melihat sang kakak merengut.
“Iya, Aang. Kita harus sama-sama terus. Nanti kalau kita beda sekolah, siapa yang mau jadi temenku jalan kaki?” Begitulah Tum, walau setiap hari uangnya tidak pernah tersisa karena harus berbagi dengan Aang dan Alim, ia tetap ingin mereka bisa satu sekolah lagi. Tum menganggap hanya Aang dan Alim sahabat terbaiknya.
Tum mengintip ke dalam saku seragamnya. Ada tiga buah uang logam bernilai dua puluh lima perak. Hari ini ia ingin sekali minum es dawet kesukaannya.
“Tum, kamu punya duit enggak? Aku haus, nih.” Adam yang tidak lain adalah teman sekelas Tum, datang menyerobot begitu saja. Adam masih saudara Tum dari garis keturunan ibu. Mereka satu canggah.
“Ada sih, Dam. Kebetulan aku mau beli es dawet. Tapi uangnya cuman cukup buat beli tiga.”
“Kalau gitu, Aang sama Alim nanti barengan aja es dawetnya mau enggak?” tawar Tum.
“Iya, Tum. Enggak papa.” Aang yang menjawab.
Tum mau membelikan Adam es dawet karena sebelumnya anak itu tidak pernah memintanya. Sementara Aang dan Alim hampir setiap hari ditraktir jajan sama Tum. Jadi, gadis kecil itu berpikir biar kakak beradik itu bisa berbagi.
Warung milik Eyang Isah merupakan legenda turun-temurun yang belum pernah tutup sejak setengah abad yang lalu. Katanya, warung tua itu selalu diwariskan kepada anak-cucu mereka.