Orang-orang berkerumun di depan rumah Aang. Tum tidak mengerti kenapa ada ramai-ramai orang. Mulai dari perempuan, laki-laki dan anak-anak kecil seumurannya. Ia baru saja sampai ke rumah. Masih memakai seragam kuning-hijaunya. Rumah Aang hanya berjarak kurang dari satu meter dari rumah nenek Tum. Rumah Tum sendiri berada di sebelah rumah neneknya. Jadi, Tum bisa melihat dengan cukup jelas orang-orang itu berkumpul. Semua wajah-wajah orang dewasa terlihat sangat tegang.
“Mamak, kenapa banyak orang di rumah Aang?” tanya Tum polos pada ibunya.
“Kita semua sedang menunggu Alim, Nak.” Raut wajah Mamak juga amat tidak menyenangkan. “Sebaiknya kita juga ikut menyambut Alim.”
“Aliiiim … Aliiiim!” teriak histeris Pak Sam—bapaknya Alim, yang membuat semua orang memandangnya iba.
Sebuah tandu yang ditutupi kain jarit cokelat bermotif batik melintas di depan Tum. Dibawa oleh dua orang lelaki yang belum pernah dilihat sebelumnya. Tangan Tum dituntun oleh sang ibu, mengikuti dua langkah lelaki pembawa tandu itu.
“Bapak, Ibu, mohon maaf. Kami selaku penabrak, tidak bisa menyelamatkan nyawa anak ini. Kami sudah berusaha membawanya ke rumah sakit. Tapi dalam perjalanan, dia sudah tidak bernapas.” Salah satu lelaki itu berbicara dengan nada penyesalan. Ia menurunkan tandu di ruang tamu keluarga Pak Sam bersama rekannya.
Pak Sam menangis histeris, meraung-raung memeluk tubuh sang anak yang terbujur kaku. Para kerabat yang melihat jadi ketularan nangisnya. Sementara Bu Sam—ibunya Alim sudah pingsan duluan sebelum kain jarit itu dibuka.
Tum melihat Aang menangis dalam pelukan Kak Mina. Ia merasa bingung. Kenapa orang-orang menangis? Ia juga bingung kenapa wajah Alim yang dipenuhi oleh darah sekarang sudah bersih?
“Alim, bangun. Kamu enggak malu dilihatin banyak orang?” Tum sudah berada di depan jenazah Alim. Ia hendak menyentuh tubuh Alim yang hanya ditutupi selembar kain putih setelah kain jarit dibuka. Akan tetapi, sebuah lengan besar menahannya. Itu adalah tangan Mamak.
Tum dibopong Mamak kembali ke rumah.
“Mak, kenapa Alim diam saja? Dia tidak bergerak. Muka Alim juga putih banget.” Tum bertanya dengan polos.
Mamak menyambar sebuah gelas berisi air putih. Ia menenggaknya hingga tandas.
“Dengar, Tum. Alim sudah enggak ada. Dia enggak akan bangun lagi. Kamu sudah enggak bisa main lagi sama Alim.” Suara Mamak serak, diiringi air mata yang turun.
“Mamak kenapa ikut menangis?” Tum semakin penasaran. Kenapa banyak sekali orang menangis hari ini.“Kenapa Mamak bilang aku enggak bisa main lagi sama Alim? Aku mau main layangan sama Alim.” Tum hendak berlari ke luar rumah, tapi Mamak sudah siaga untuk menarik tubuh kecil itu.
“Alim sudah meninggal, Tum. Dia enggak akan pernah membuka mata lagi.” Mamak berkata dengan suara gemetar.