Tum sedang berusaha keras melepas sepatunya yang sudah mulai kesempitan. Kaus kakinya berwarna putih, dihiasi renda-renda di pinggirannya. Ia amat jengkel karena tangannya sudah perih dan memerah, tetapi sepatunya tidak mau lepas juga. Renda-renda di pinggiran kaus kaki kotor terkena cipratan tanah yang menempel di alas sepatunya.
“Tum, main yuk!” teriak Aang dari luar. Ia mengintip dari jendela rumah Tum yang terbuat dari potongan bambu-bambu kecil seukuran lengan bayi yang baru lahir. Potongan-potongan bambu itu dicat warna putih.
Karena dinding-dinding rumah Tum terbuat dari anyaman bambu, suara Aang terdengar begitu jelas. Ia membukakan pintu yang juga terbuat dari anyaman bambu.
“Kamu belum ganti baju?” tanya Aang menyelidik seragam sekolah masih melekat di tubuh Tum.
“Aku kesusahan melepas sepatu. Karena biasanya Mamak yang melakukannya.”
“Sini coba kubantu.” Dengan ringan tangan Aang mulai menarik sepatu hitam di kaki Tum. Akhirnya bisa terlepas walau Aang hampir terjengkang ke belakang.
“Sepatunya sudah minta diganti, Tum.” Kak Mina tiba-tiba saja muncul.
“Kata Mamak, gantinya nanti aja waktu mau masuk kelas satu SD, Kak.”
“Oh, ya. Mamakmu enggak kelihatan, Tum?”
“Ada di kamar. Lagi nidurin Trias.”
Aang kurang suka dengan kehadiran sang kakak. Ia menyuruh Tum berganti baju dan ingin mengajaknya main ke luar.
“Kakak ngapain sih, ngikutin aku segala?” Aang bertanya sambil merengut.
“Disuruh Ibu sama Bapak buat jagain kamu. Kita kan baru kehilangan Alim. Jadi Ibu khawatir sama kamu dan nyuruh kakak buat ngawasin.”
Tum keluar menggunakan kaus polos dan celana pendek berwarna biru. Ia jarang memakai rok. Karena teman dekatnya hanya Aang dan Alim, ia jadi sedikit agak tomboy.