1996.
Hari baru tiba. Kini Tum sudah bersekolah di SD negeri 01 Kedungrandu bersama Aang. Semua yang melekat dalam tubuhnya serba baru. Seragamnya sudah tak lagi berwarna kuning-hijau, melainkan merah-putih. Semua teman-teman sekelasnya banyak yang baru. Hanya ada beberapa anak yang satu TK dengan Tum berkumpul kembali di kelas yang sama.
“Aku maunya duduk sama Aang,” protes Tum terhadap Mamak. Mamak mengantar Tum ke sekolah di hari pertama.
“Tum kan perempuan, jadi duduknya sama teman perempuan juga, ya,” imbau Mamak.
Sejak tadi ibu gurunya yang baru sudah mati-matian membujuk Tum. Namun, Tum bersikeras untuk duduk dengan Aang. Sampai Mamak harus turun tangan segala.
“Tum, harus menurut sama ibu guru, ya.” Mamak tersenyum pada Tum. Wanita yang melahirkan Tum itu terlihat kerepotan karena salah satu tangannya digunakan untuk menggendong Trias.
Tum terpaksa menurut pada perintah ibu gurunya setelah dirayu Mamak. Tentu saja rayuan ala Mamak bukan dengan bisikan lembut. Rayuan Mamak beda, wanita bertubuh tambun itu memelototi Tum, tangannya juga tak segan menjewer sang putri yang menurutnya bandel.
Tum akhirnya duduk di samping Titi. Sebenarnya Titi adalah salah satu teman Tum di TK. Namun, Tum kurang suka bergaul dengan anak perempuan. Titi memiliki ukuran tubuh yang tinggi, kulitnya putih langsat, rambutnya ikal menggantung dan ia cukup pendiam.
“Tum, kenapa sih, kamu enggak mau duduk sama aku?” tanya Titi keheranan.
Tum diam saja, malas menjawab. Ia tidak mungkin mengatakan pada teman sebangkunya kalau sebenarnya ia lebih suka berteman dengan anak laki-laki.
Pukul sepuluh pagi, kelas Tum sudah dibubarkan. Mamak sudah pamit pulang dari sejam yang lalu. Trias rewel minta pulang. Namun kata Mamak, ia dan adiknya akan menunggu Tum di rumah Eyang Buyut.
“Ang, Mamak nunggu di rumah Eyang Buyut. Kamu ikut ke sana, ya.” Tum menarik tangan Aang.
“Boleh. Tapi jangan lama-lama, Tum.”
Dari sekolah, Tum dan Aang harus melintasi gang-gang sempit untuk sampai ke rumah Eyang Buyut. Setelah puluhan rumah dilewati oleh dua anak itu, mereka sampai di rumah bergaya joglo. Rumah kuno itu menghadap ke jalan raya.
Buyut sedang ngobrol dengan Mamak. Mereka sudah sangat akrab tentunya. Karena dari kecil Eyang Buyutlah yang merawat Mamak. Mereka sedang membicarakan kecelakaan yang menimpa Alim. Begitu mengetahui Tum datang bersama Aang yang tidak lain adalah kakak Alim, dua orang tua itu mengganti topik pembicaraan.
“Bagaimana sekolah pertama di SD, Tum?” tanya Eyang Buyut.
“Enggak seru. Enggak ada mainannya.”
Eyang Buyut tersenyum-senyum mendengar jawaban Tum.
“Trias di mana, Mak?”
“Dia lagi tidur di kamar.”
Eyang Buyut mendekati Aang. Mengelus puncak kepalanya. Ia pasti merasa iba dengan Aang karena kejadian beberapa waktu lalu yang menimpa pada adiknya.