“Tum, kenapa sih, kita enggak lewat jalan utama aja?” keluh Aang yang berjalan di belakang Tum. Keduanya sedang berjalan untuk menuju ke sekolah.
Jalan yang mereka lalui cukup sempit. Hanya berukuran kurang dari satu meter. Di sebelah kanan diapit oleh saluran irigasi yang lebarnya hampir sama dengan ukuran jalan. Di sebelah kiri mereka, berhektar-hektar sawah terbentang. Kebanyakan pemiliknya adalah penduduk asli. Sebagiannya lagi punya orang luar desa.
“Tum, kok enggak dijawab?”
“Ang, kamu tahu enggak, sih?” Tum hampir keceplosan kalau kemarin ia baru menemui hal aneh di sekitar rumah Aang.
“Kenapa?”
Tum mengembuskan napas. Ia harus mencari topik lain. Gadis kecil itu belum mau menceritakan kejadian kemarin pada sahabatnya. Tum takut Aang jadi kepikiran dan merasa sedih.
“Kalau lewat sini lebih cepet sampai sekolah.” Jika melintas di jalan yang sedang dilalui keduanya sekarang, mereka hanya butuh dua puluh menit untuk sampai ke sekolah. Akan tetapi, kalau lewat jalan utama bisa menghabiskan waktu sampai setengah jam, bahkan lebih.
“Iya, tapi kalau lewat sini sepatu kita tuh kotor.” Aang mengangkat satu kaki. Menunjukkan bagian alas sepatunya yang dipenuhi banyak debu pada Tum.
“Sama aja. Jalan utama kan berdebu juga karena belum diaspal.”
“Tapi paling enggak di sana banyak batu kerikilnya. Jalannya juga lebih lebar.”
“Ok. Mulai besok kita berangkatnya enggak usah pakai sepatu atau pakai sendal aja. Nanti biar cuci kakinya di sumurnya Eyang Buyut. Gimana?”
“Tapi biar adil, gimana kalau berangkatnya aja yang lewat sini. Nanti pas pulang, kita lewat jalan utama,” usul Aang.
Tum sebenarnya agak keberatan. Ia tidak suka lewat jalan utama karena lumayan banyak anak sekolah lain yang juga lewat sana. Tum lebih suka jalanan yang sepi. Belum lagi jalanan itu naik-turun karena berada di perbukitan. Namun, ia tetap menuruti kemauan sahabatnya itu agar tidak kecewa. Jadi, mereka membuat kesepakatan. Kalau pagi, berangkat sekolah lewat pinggir sawah. Pulangnya lewat jalan utama.
“Iya, baiklah.”
Aang tersenyum senang.
Kabut tebal menghalangi pandangan. Pohon-pohon, sawah-sawah dan pegunungan yang mengelilingi mereka semua tidak terlihat. Tum dan Aang hanya dapat melihat hal-hal yang terdapat di dekat mereka.
“Hah … hah … hah.” Aang mengeluarkan napasnya dari mulut. Seketika uap putih yang mirip asap keluar dari sana.
Tum tertarik juga untuk melakukannya. Hampir sepanjang jalan mereka tertawa-tawa karena melihat hal unik itu.
Tum melihat potongan-potongan bambu setinggi badan Aang berderet di sebelah kiri mereka. potongan bambu menancap pada tanah. Ia tahu itu digunakan orang-orang untuk menanam kacang panjang. Biasanya pohon kacang panjang akan menjalar ke potongan bambu-bambu itu. Ada hal yang begitu menarik bagi Tum. Setiap ia berangkat ke sekolah, capung berwarna-warni menghinggap di atas bambu-bambu itu. Tum suka sekali menangkap binatang bersayap indah itu. Aang juga suka melakukannya.
Hari ini cukup banyak capung berwarna merah dan kuning yang sedang hinggap. Mata Tum berbinar cerah. Ia mulai bergerak dengan sangat pelan agar para capung tidak kabur mendengar derap langkahnya. Tiga jari Tum sudah siap menangkap bagian ekornya. Capung merah itu berhasil terbang. Tum agak kecewa, tetapi tidak menyerah.
“Tum, aku dapet warna kuning.” Aang semringah. Ia seperti baru saja mendapatkan harta karun.
“Bukan main cantiknya,” puji Tum pada capung berwarna kunyit di tangan Aang.
“Aku juga mau coba nangkep. Aang jangan gangguin, ya.” Dengan sangat pelan dan penuh kehati-hatian, jari-jari Tum mendekat pada ekor capung. Gadis cilik itu siap mencengkeram serangga cantik itu.