Tum mengembuskan napasnya sebentar. Ia kelelahan. Aang berjalan terlalu cepat, membuat Tum ngos-ngosan mengejar langkah kakinya. Hari ini mereka pulang sekolah. Seperti yang sudah mereka janjikan sebelumnya, kalau pulang sekolah akan melewati jalan utama. Jalan yang jauh lebih lebar daripada jalan kecil di pinggir sawah.
“Tum, aku disuruh sama Ibu belanja ke warung dulu sepulang sekolah.” Aang mengeluarkan secarik kertas berisi daftar belanjaan. Ia mencari-cari beberapa lembar uang ribuan.
“Aku tunggu di sini, Ang.”
Aang menuju sebuah warung bercat merah sebelum melanjutkan perjalanan. Ia menyerahkan catatan belanjaan dan uang amanat dari sang ibu kepada pemilik warung. Tum yang menunggu Aang di pinggir jalan memegangi lututnya yang terasa sakit.
“Kamu enggak apa-apa kan, Tum?”
“Aku cuma kecapekan aja.”
“Masih bisa lanjut jalan enggak?”
“Bisa, kok.”
Mereka berjalan beriringan. Aang membawa keresek hitam besar berisi sayuran dan bumbu-bumbu dapur. Tubuhnya yang kurus terlihat tidak seimbang membawa kantong keresek besar itu.
Tum mulai mengeluh dalam hati. Ia tidak pernah suka dengan jalan ini. Selain jalannya yang bergelombang dan naik turun karena merupakan daerah perbukitan, waktu tempuh untuk sampai ke rumah menjadi terasa lebih lama. Walau jalanan masih dihiasi tanah dan kerikil, jalan itu cukup sering dilewati kendaraan; seperti mobil dan sepeda motor, juga anak-anak dari sekolah lain yang berjalan kaki seperti Tum dan Aang.
Tum paling tidak suka saat harus melewati hutan bambu. Hampir semua di kiri-kanan jalan hanya terlihat berbagai jenis warna batang pohon bambu. Dan itu sama sekali tidak menarik bagi Tum. Lewat di jalan setapak di pinggir sawah lebih menyenangkan. Tum suka sekali memandang gunung-gunung. Di bawah gunung ada pesawahan yang luas. Mirip seperti pemandangan yang selalu menjadi tema utama saat ia mendapatkan tugas menggambar.
“Tum, kamu capek?” tanya Aang perhatian.
“Enggak apa-apa kok, Ang.”
“Bener?”
Tum mengangguk.
“Kalau capek kita istirahat saja dulu.”
Tum hampir saja mengiyakan usulan Aang. Namun, ia menyadari sesuatu. Mereka sudah berhasil melintasi hutan bambu. Artinya kini mereka akan melewati hutan angker.
Konon katanya, di balik hutan angker ada beberapa macam makam. Paling terkenal adalah makam Mbah Nurah yang disebut-sebut sebagai makam tertua. Orang-orang menyebut kebun angker itu Karang Cina. Ada juga yang mengatakan kalau banyak orang-orang Cina pada zaman dahulu dimakamkan di situ. Informasi dari mulut ke mulut itu masih simpang siur.
Tum berlarian saat melintasi Karang Cina. Bulu halus di tangan dan lehernya sudah pada berdiri. Aang ikutan lari mengejar Tum.
“Kenapa sih, Tum, lari-lari segala?”
“Di situ katanya ada makam angker. Aku enggak mau diikutin setan.”
“Setan?” Aang malah tertawa melihat ekspresi ketakutan Tum yang lebih mirip seperti orang sedang menahan kencing.
“Kenapa ketawa, Ang?”
“Kamu lucu. Ada-ada aja. Masa siang-siang begini ada setan?”
“Setan bukannya ada setiap saat? Ada di mana-mana?”
“Sepertinya kamu bener, Tum. Itu di belakangmu ada sesuatu.” Aang dengan ekspresi wajah ketakutan yang dibuat-buat lari terbirit-birit. Tum ikut-ikutan saja.
“Ang, aku capek,” keluh Tum.
“Ayolah lari lagi, Tum! Ini sayurannya udah ditungguin Ibu buat dimasak.”