Di rumah nenek Tum sedang banyak orang. Tum melirik ke pintu rumah Nenek yang terbuka lebar. Biarpun banyak orang, suasana hening. Tum jadi penasaran. Terbit rasa ingin tahu di hatinya. Ada apa gerangan yang terjadi di sana?
Nenek menarik tangan Tum agar duduk di pangkuannya. Mamak memangku Trias. Di samping Mamak ada Bapak, Kakek, Bu Sam dan Pak Sam. Tum keheranan melihat Kak Mina yang duduk di tengah-tengah dan menjadi pusat perhatian.
“Kak Mina kenapa, Nek?” Tum berbisik ke telinga sang nenek.
“Mina kerasukan roh halus.” Nenek balik berbisik. Lalu menyuruh cucunya itu untuk ikut melihat apa yang terjadi dengan kakaknya Aang.
Aang pasti belum tahu kalau keluarganya berkumpul di sini semua, pikir Tum.
“Mohon maaf semuanya, saya meminta izin untuk meminjam raga Mina terlebih dahulu,” ucap Kak Mina.
Melihat cara bicara Kak Mina sekarang ini yang begitu halus, Tum merasa bahwa wanita ini memang bukan Kak Mina.
“Perkenalkan, nama saya Ulan.” Kak Mina tersenyum anggun, itu bukan senyuman khasnya.
Semua wajah-wajah yang menyaksikannya begitu tegang.
“Mohon maaf, Anda ini seorang pria atau wanita?” tanya Pak Sam dengan berani. “Kenapa Anda memilih memasuki raga anak saya?”
“Saya seorang wanita. Arwah saya belum tenang. Jadi, saya mohon kepada Anda semua, selepas salat mohon mintakan ampunan kepada Allah untuk dosa-dosa saya.” Wajah Kak Mina berubah sedih.
Tum masih menerka-nerka apa yang terjadi. Benarkah roh seseorang bisa bertukar tempat? Lalu, di mana roh Kak Mina sekarang?
“Coba ceritakan asal-usulmu. Bagaimana kamu bisa mengenal Mina?” Giliran Bapak yang mengajukan pertanyaan.
Semua orang terlihat fokus menatap ke raga Kak Mina yang terisi roh Ulan.
“Saya seorang gadis delapan belas tahun. Sudah lima bulan ini saya meninggal dunia.” Wajah Kak Mina yang terisi roh Ulan kembali menunduk sedih.
Semua mata saling memandang satu sama lain. Agaknya pernyataan Ulan tadi membuat semuanya terkejut.
“Sa-saya penghuni rumah batu mustika putih. Waktu itu Mina tidak sengaja menendang rumah saya. Sehingga saya sedikit terusik. Kemudian saya mengikuti ke mana pun Mina pergi.”
Tum terperangah. Kedua matanya bertemu dengan mata Kak Mina. Ia menyadari saat kejadian itu, dirinya dan Aang sedang bersama Kak Mina di kebun kosong. Mereka tengah mengumpulkan ranting dan kayu bakar. Akan tetapi, Tum dan Aang belum pernah melihat batu putih yang tadi disebutkan oleh Ulan.
“Mina bisa berbicara dan melihat saya. Pikiran Mina sering sekali kosong. Dia kerap melamun. Sehingga sangat mudah untuk dirasuki roh halus seperti kami. Tapi insya Allah saya jin baik. Hanya saja, saya memilih takdir yang buruk. Sehingga saya belum bisa diterima di sisi Allah.”
Tingkah laku Kak Mina yang dirasuki Ulan memang berbanding terbalik. Cara bicara Kak Mina yang cenderung kasar, lantang dan ceplas-ceplos, tentu amat kontras dengan Ulan. Ulan akan lebih sering menunduk dan menyungging senyuman. Lain sekali dengan Kak Mina yang suka marah-marah.
“Kalau boleh tahu, apa penyebab kematian Anda?” tanya Bapak penuh selidik.
Ulan tidak langsung menjawab. Ia tertunduk cukup lama. Air mata keluar membasahi pipi Kak Mina.
Tum jadi bertanya-tanya. Apakah jin bisa menangis?
“Saya adalah seorang anak kyai. Remaja yang sangat cantik. Semua laki-laki menginginkan saya. Banyak yang sudah datang ke rumah untuk meminang, tapi saya menolaknya. Bukan karena apa-apa, tapi karena belum ingin menikah saja.”
Ulan mengembuskan napasnya.