Tum

Ais Aisih
Chapter #10

Tum Menghilang

 

Tubuh Tum yang menggigil sudah dibalut tiga kain jarit sekaligus. Mamak memasak air di atas kompor. Setelah mendidih, air itu didiamkan sebentar. Mamak menuangnya ke dalam botol kaca bekas sirup yang dibelinya tahun lalu.

Botol itu ditutup dengan plastik dan diikat karet gelang. Mamak meletakkan botol berisi air panas itu di antara dua kaki Tum. Perpindahan panas dari botol ke telapak kaki Tum akan ditransfer ke seluruh tubuh. Hal itu membuat Tum merasa lebih hangat.

Bapak tidur bersama Trias di kamar depan. Besok pagi-pagi sekali, ia sudah harus berangkat bekerja ke pabrik. Sebelum menutup mata, Bapak mengingat kejadian setengah jam lalu. Tum ditemukan dalam keadaan pingsan, tak berdaya.

“Tum … Tum.” Bapak meneriaki nama anaknya. Cahaya senter menyorot ke segala arah.

Sesampainya di jalan berundak, Bapak menemukan titik terang. Tum yang tidak sadarkan diri tergolek lemah berbaur dengan tanah. Bapak mengangkat tubuh Tum yang terasa dingin. Mamak dengan sigap mengambil tiga lembar kain jarit di dalam lemari. Diselimutkannya kain-kain tersebut ke tubuh Tum yang sudah dibaringkan di atas ranjang.

Dahi Tum yang mulai berkeringat membuat Mamak merasa sedikit lega. Wanita itu pergi ke sumur untuk menimba beberapa ember air. Lalu menyiramkan segayung demi segayung air yang tadi ditimbanya ke seluruh badan. Walau kulit Mamak tebal, tetapi ia tetap menggigil. Suara giginya bergemeletuk menahan terpaan dingin.

Mamak melakukan salat malam di antara cahaya remang lampu minyak. Ia memanjatkan doa untuk kehidupan keluarganya. Tidak lupa tujuan utamanya melakukan ritual mandi tengah malam dan salat sunah karena ingin melihat sosok Ulan.

Mamak tidur di samping Tum. Ulan datang dalam mimpi. Tersenyum kepada Mamak.

Sampai keesokan paginya, Mamak sudah sangat heboh ingin bercerita kepada siapa saja kalau sudah melihat Ulan dalam mimpinya.

“Dia itu sangat cantik, Pak. Rambutnya hitam, lurus dan panjang.” Mamak tengah menyiapkan bekal buat Bapak sarapan.

Lelaki itu tidak pernah sarapan di rumah. Ia benar-benar harus mengejar waktu. Bapak mengendarai sepeda tuanya untuk sampai ke pabrik, jadi akan memakan waktu lama kalau sarapan dulu.

“Mak, kalau saran Bapak, jangan terlalu bersemangat begitu. Ulan dan kita berbeda.” Bapak mengulurkan tangannya untuk dicium oleh Mamak. Lelaki itu berpamitan berangkat kerja. Mamak merengut sebal.

Masih terlalu pagi bagi Tum dan Trias untuk membuka mata. Bergumul dalam selimut jarit yang berlapis-lapis, bersama dengan bantal yang warnanya gelap dan sebenarnya sudah tidak layak pakai nyaman sekali rasanya.

Suara ocehan panjang Mamak sayup-sayup terdengar. Setelah Bapak pergi, wanita bertubuh besar itu bergunjing sepanjang waktu. Ada saja yang menjadi bahan gunjingannya. Sudah seperti burung beo berkicau di pagi hari.

“Tum, bangun. Sekolaaah!” Irama Mamak sudah seperti nenek sihir yang sedang membawa sapu lidi. Memukul pantat siapa saja yang belum bangun.

Tum susah payah membuka kelopak mata. Dunianya seperti berputar-putar. Kepalanya pening sekali. Ia menempel-nempelkan punggung tangannya ke dahi, leher dan perut. Sepertinya ia demam. Kulitnya terasa panas. Membayangkan harus bercumbu dengan air dingin, ia merasa tak sanggup. Tum memilih kembali berpelukan dengan bantal yang sudah dipenuhi dengan gambar peta.

Lihat selengkapnya