Berita-berita tentang krisis moneter selalu berseliweran pada layar TV hitam-putih milik Nenek. Tum sampai dilarang menonton kartun favoritnya. Wajah-wajah tegang tanpa uluman senyum tertumpu menjadi satu di ruang tengah rumah Nenek.
Kakek, Nenek, Mamak dan Bapak menatap benda kotak bergambar gerak itu dengan tatapan keprihatinan. Rasa ingin tahu Tum menyeruak. Trias yang mengajak sang kakak bermain petak umpat dari tadi tidak diacuhkan. Tum ingin tahu, apa yang sedang terjadi.
Berita televisi menampilkan tayangan para mahasiswa yang turun ke jalan. Melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Aksi unjuk rasa itu berakhir rusuh. Diwarnai tembakan dan berujung tragedi. Ada beberapa mahasiswa yang tewas dalam tragedi tersebut.
Nenek meninggalkan tempat duduknya. Mengusap air mata yang berisi kecemasan. Kakek, Mamak dan Bapak masih menatap layar TV itu dengan amat serius. Tum membuntuti sang nenek. Rupanya Nenek duduk mencari angin segar di bawah pohon belimbing. Wanita yang selalu menggelung rambutnya itu mengawasi kambing-kambingnya di dalam kandang.
Tum menuju ke arah pohon belimbing. Kebetulan sedang berbuah lebat. Banyak belimbing matang yang jatuh berserakan di depan kandang kambing.
“Nek, kenapa di sini?” Tum sudah menempelkan pantatnya pada tanah yang dipenuhi rerumputan.
“Di sini anginnya sejuk, Tum.”
Tum setuju. Duduk di bawah pohon memang selalu menyenangkan. Walaupun anginnya sedikit tercampur dengan aroma kotoran kambing. Kandang kambing Nenek berada di belakang pohon belimbing.
“Nek, bolehkah aku bertanya?”
Nenek menoleh. Mengamati rambut cucunya yang kusut terhempas angin. Nenek mengeluarkan karet gelang yang melingkar di pergelangan tangan. Rambut Tum yang tidak disisir, diikat menggunakan karet gelang itu. Nenek yang mengikatkannya.
“Tadi mau nanya tentang apa, Tum? Asal tidak sulit, kamu pasti akan mendapatkan jawabannya.”
Tum memainkan bibirnya terlebih dahulu sebelum bertanya. “Nek, berita di televisi tadi apa membuat Nenek begitu sedih?”
“Aku akan menjawabnya. Asal kamu mau mijitin punggungku dulu.” Nenek terkekeh, membuat Tum memberengut. Masa demi mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, ia harus bekerja dulu.
Dengan gerakan yang enggan, Tum terpaksa menjalankan perintah sang nenek. Memijit dengan jari-jemarinya yang kecil.
“Ketahuilah Tum, kalau tanganmu sudah terbiasa digunakan untuk memijit. Saat besar nanti kedua tangan itu akan menjadi sangat kuat.”
Tum memandangi kedua telapak tangannya. Mengepalnya erat-erat. Berharap ucapan Nenek adalah doa yang terkabul saat dewasa kelak.
Ketika Nenek mulai bercerita, suara satu-dua kambing ikut menyahut.
“Tum, keadaan negara kita sedang tidak baik-baik saja. Ada masalah serius dengan keadaan ekonomi negara. Dampaknya amat buruk bagi rakyat. Terutama untuk rakyat kecil seperti kita ini.” Nenek menghela napas. “Banyak faktor yang melandasinya. Kalau dijelaskan banyak-banyak, belum tentu kamu bisa memahaminya, Tum.”
Tangan Tum sudah berpindah ke leher Nenek. Mengurut pelan urat-urat yang kaku.
“Kamu akan tahu kalau sudah dewasa nanti. Kisah yang terjadi hari ini akan menjadi sejarah. Kamu dapat memetik pelajaran. Aku yakin kelak kamu akan memahami banyak hal.”
“Kenapa untuk mengetahui sesuatu harus selalu menunggu dewasa?”