Tum

Ais Aisih
Chapter #13

Lahirnya Para Bayi

 

Dua bulan berlalu setelah acara makan rujak dan minum es teh di rumah Aang. Ibunya Aang melahirkan seorang bayi laki-laki. Baik Tum dan Aang sendiri tidak adDi rumah nenek Tum sedang banyak orang. Tum melirik ke pintu rumah Nenek yang terbuka lebar. Biarpun banyak orang, suasana hening. Tum jadi penasaran. Terbit rasa ingin tahu di hatinya. Ada apa gerangan yang terjadi di sana?

Nenek menarik tangan Tum agar duduk di pangkuannya. Mamak memangku Trias. Di samping Mamak ada Bapak, Kakek, Bu Sam dan Pak Sam. Tum keheranan melihat Kak Mina yang duduk di tengah-tengah dan menjadi pusat perhatian.

“Kak Mina kenapa, Nek?” Tum berbisik ke telinga sang nenek.

“Mina kerasukan roh halus.” Nenek balik berbisik. Lalu menyuruh cucunya itu untuk ikut melihat apa yang terjadi dengan kakaknya Aang.

Aang pasti belum tahu kalau keluarganya berkumpul di sini semua, pikir Tum.

“Mohon maaf semuanya, saya meminta izin untuk meminjam raga Mina terlebih dahulu,” ucap Kak Mina.

Melihat cara bicara Kak Mina sekarang ini yang begitu halus, Tum merasa bahwa wanita ini memang bukan Kak Mina.

“Perkenalkan, nama saya Ulan.” Kak Mina tersenyum anggun, itu bukan senyuman khasnya.

Semua wajah-wajah yang menyaksikannya begitu tegang.

“Mohon maaf, Anda ini seorang pria atau wanita?” tanya Pak Sam dengan berani. “Kenapa Anda memilih memasuki raga anak saya?”

“Saya seorang wanita. Arwah saya belum tenang. Jadi, saya mohon kepada Anda semua, selepas salat mohon mintakan ampunan kepada Allah untuk dosa-dosa saya.” Wajah Kak Mina berubah sedih.

Tum masih menerka-nerka apa yang terjadi. Benarkah roh seseorang bisa bertukar tempat? Lalu, di mana roh Kak Mina sekarang?

“Coba ceritakan asal-usulmu. Bagaimana kamu bisa mengenal Mina?” Giliran Bapak yang mengajukan pertanyaan.

Semua orang terlihat fokus menatap ke raga Kak Mina yang terisi roh Ulan.

“Saya seorang gadis delapan belas tahun. Sudah lima bulan ini saya meninggal dunia.” Wajah Kak Mina yang terisi roh Ulan kembali menunduk sedih.

Semua mata saling memandang satu sama lain. Agaknya pernyataan Ulan tadi membuat semuanya terkejut.

“Sa-saya penghuni rumah batu mustika putih. Waktu itu Mina tidak sengaja menendang rumah saya. Sehingga saya sedikit terusik. Kemudian saya mengikuti ke mana pun Mina pergi.”

Tum terperangah. Kedua matanya bertemu dengan mata Kak Mina. Ia menyadari saat kejadian itu, dirinya dan Aang sedang bersama Kak Mina di kebun kosong. Mereka tengah mengumpulkan ranting dan kayu bakar. Akan tetapi, Tum dan Aang belum pernah melihat batu putih yang tadi disebutkan oleh Ulan.

“Mina bisa berbicara dan melihat saya. Pikiran Mina sering sekali kosong. Dia kerap melamun. Sehingga sangat mudah untuk dirasuki roh halus seperti kami. Tapi insya Allah saya jin baik. Hanya saja, saya memilih takdir yang buruk. Sehingga saya belum bisa diterima di sisi Allah.”

Tingkah laku Kak Mina yang dirasuki Ulan memang berbanding terbalik. Cara bicara Kak Mina yang cenderung kasar, lantang dan ceplas-ceplos, tentu amat kontras dengan Ulan. Ulan akan lebih sering menunduk dan menyungging senyuman. Lain sekali dengan Kak Mina yang suka marah-marah.

“Kalau boleh tahu, apa penyebab kematian Anda?” tanya Bapak penuh selidik.

Ulan tidak langsung menjawab. Ia tertunduk cukup lama. Air mata keluar membasahi pipi Kak Mina.

Tum jadi bertanya-tanya. Apakah jin bisa menangis?

“Saya adalah seorang anak kyai. Remaja yang sangat cantik. Semua laki-laki menginginkan saya. Banyak yang sudah datang ke rumah untuk meminang, tapi saya menolaknya. Bukan karena apa-apa, tapi karena belum ingin menikah saja.”

Ulan mengembuskan napasnya.

“Pada suatu malam, saat Abah dan Ummi pergi, saya hanya tinggal sendiri di rumah. Waktu itu ada tiga lelaki yang datang bertamu. Tapi saya memiliki firasat yang tidak enak. Jadi saya mengatakan kalau mau bertemu dengan Abah dan Ummi, sebaiknya besok saja. Tapi mereka memaksa masuk. Saya merasa ketakutan." Ulan memberi jeda sejenak.

"Suasana di kampung saya sudah sangat sepi. Karena sudah jam sepuluh malam. Demi mencium gelagat mereka yang tidak baik, saya pura-pura ke dapur untuk membuat minuman. Tapi mereka tahu kalau saya sebenarnya melarikan diri lewat pintu dapur. Saya berlari dan berteriak minta tolong. Namun, sia-sia saja. Tubuh-tubuh kekar itu sudah semakin mendekat. Bahkan salah satunya ada yang berhasil mencengkeram lengan saya. Saya berusaha meronta. Langkah saya terus mundur. Sampai-sampai saya lupa di belakang ada sebuah sungai. Saya mati langkah.”

Ulan sesenggukan. Wajah Kak Mina sudah basah oleh air mata.

“Dua pilihan yang sulit berada di hadapan saya. Harus merelakan keperawanan saya kepada mereka dengan jaminan saya masih hidup atau saya harus mati dengan terjun ke dalam sungai. Maka, saya lebih memilih menyelamatkan kesucian diri saya. Kalau saja ada pilihan yang lebih menguntungkan, tidak mungkin saya harus menceburkan diri ke dalam sungai. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa saya.”

Semua menatap iba kepada Ulan yang berada di dalam tubuh Kak Mina. Mamak malah terlihat menghapus air matanya. Mamak memang amat sensitif.

“Mohon maaf, saya tidak bisa lama berada di tubuh Mina. Nanti dia akan merasa kelelahan. Tapi besok insyaa Allah saya akan kembali lagi.”

Kak Mina seperti orang yang terlonjak kaget saat Ulan keluar dari tubuhnya. Mungkin itu adalah proses pertukaran roh antara Ulan dan Kak Mina.

Kak Mina yang sudah sadar merasa kebingungan. Kenapa banyak orang yang mengelilinginya?

“Ada apa ini? kenapa aku merasa seperti baru saja habis menangis?” Kak Mina merasa bingung dengan kedua matanya yang berair. Hidungnya juga tampak basah. Ia tidak mengingat kapan dirinya pergi ke rumah nenek Tum.

“Enggak ada apa-apa kok, Min. Mari kita pulang!” ajak Bu Sam pada Kak Mina untuk menghindari rasa bingung dan penasarannya yang semakin besar. Pak Sam juga turut undur diri.

Mamak membopong tubuh Trias ke sumur. Anak kecil itu mengompol di celana, membuat tikar Nenek basah oleh ompolnya.

“Aduh Tum, suruh mamakmu jemur tikarnya besok. Bau pesing!” ujar Nenek, niatnya ditujukan kepada Mamak yang sudah menghilang menuju sumur.

Karena masih penasaran, Tum mengikuti Pak Sam, Bu Sam dan Kak Mina pulang ke rumahnya. Ia kabur dari omelan panjang Nenek yang tikarnya basah oleh ompol Trias. Sementara sang kakek hanya bisa menggaruk kepalanya yang hampir rata oleh uban.

“Aang, main yuk!” teriak Tum dari luar.

“Aang di kamar. Disuruh belajar sama bapaknya. Daripada main, kalian belajar bareng-bareng aja.” Bu Sam berbicara sambil menyembulkan kepala dari belakang pintu. Ia membuka lebar pintunya, menyuruh Tum masuk.

Kak Mina sedang duduk di atas tikar, ditenggaknya air minum dalam gelas besar yang dibawakan Bu Sam. Di sampingnya, ada Pak Sam duduk bersila.

Tum sudah menemui Aang di kamarnya. Temannya itu bukannya belajar malah tidur di atas kasur kapuk. Tum sengaja membuka pintu kamar Aang biar bisa mendengar suara dari ruang tamu. Kamar Aang berada di belakang, dekat dapur, tapi tidak jauh dari ruang tamu.

Lubang-lubang kecil pada dinding anyaman bambu juga cukup menguntungkan bagi Tum. Suara orang dewasa itu bisa melewati celah-celah kecil di dinding dan sampai ke telinganya.

“Ang, ayo buka bukunya!” seru Tum. Ia harus mengalihkan perhatian sahabatnya pada buku. Aang tidak boleh tahu kalau Tum sebenarnya sedang menguping.

Aang dengan malas-malasan mengeluarkan buku dari tas sekolah miliknya.

Lihat selengkapnya