“Saya sedang mencari suami saya yang pergi dari rumah. Dia tidak memberikan uang sepersen pun untuk biaya melahirkan. Jadi, saya terpaksa mengikutinya. Karena perut yang amat besar, jadi saya tidak bisa mengikuti langkah cepatnya.” Gerimis turun dari dua mata Giyah, ibu dari bayi yang dilahirkannya. Belum lama ia memperkenalkan diri.
Mbah dukun sudah pulang sepuluh menit yang lalu setelah memandikan bayi merah yang kini tengah terlelap di pangkuan Mamak. Ia sudah melakukan tugasnya dengan baik. Besok, Mbah dukun akan kembali lagi untuk memberikan ramuan kepada sang ibu dari si anak bayi.
“Tanpa bantuan kalian, saya tidak tahu bagaimana nasib bayi itu.” Giyah menatap iba pada bayi perempuannya yang lucu. Sesekali tubuh mungil itu berjingkat kalau mendengar suara orang-orang di sekelilingnya. Dengan telaten, Mamak menepuk lembut kaki sang bayi agar tetap tertidur.
“Bagaimana bisa Anda berjalan dalam keadaan seperti itu?” Mamak mengingat kejadian tadi siang. Bu Giyah membopong bayinya yang dililit oleh usus dan masih tersambung dengan ari-ari, serta berlumuran merah darah.
“Awalnya saya tengok kanan-kiri. Tapi jalanan terlihat sepi. Saya rasa percuma saja kalau ingin berteriak minta tolong. Akhirnya saya pasrah. Karena perut sudah terasa mulas sekali, saya memilih masuk ke dalam selokan. Entah kenapa seperti ada kekuatan yang datang. Saya sama sekali tidak kesulitan dan tidak merasa kesakitan saat mengeluarkan bayi saya.” Bu Giyah termenung. Pikirannya sedang memutar kejadian siang tadi. Seharusnya ia merasa ngeri, tapi tidak, wanita itu justru seperti merasakan hawa sejuk dan dingin saat melahirkan.
Mamak mengangguk takzim. Itu pasti Mbah Nurah, penghuni Karang Cina yang membantunya, pikir Mamak.
“Sebaiknya dibawa istirahat lagi, Mbak. Saya akan menyiapkan makan malam,” ujar Mamak, meletakkan bayi mungil yang tadi dipangkunya ke dekat sang ibu.
Matahari hampir lengser ke arah barat. Bapak yang baru pulang dari rumah Pak Lurah tangannya langsung ditarik sama Mamak. Mamak bercerita tanpa diminta oleh Bapak.
“Ada wanita ngelahirin di jalan, Pak. Kalau menurut dugaanku, ditolong sama Mbah Nurah. Katanya lahirannya gampang banget. Terus kayak ada kekuatan gaib yang nolongin katanya. Aneh, kan?”
Bapak menenggak air putih dalam gelasnya perlahan. “Jadi, darah itu bekas orang lahiran?” gumamnya.
“Bapak tadi lihat?”
Bapak mengangguk. Ia pulang lewat jalan utama dan melihat ada banyak darah di selokan. “Aku lihat di selokan depan Karang Cina ada banyak darah. Terus bercaknya sampai ke jalan-jalan. Aku pikir ada maling yang menyembelih ayam di jalan.”
Mamak melotot. “Ya sudah. Kalau gitu Bapak lapor ke Pak RT sekarang!”
“Tapi aku baru saja sampai, Mak. Masa langsung disuruh pergi lagi,” protes Bapak. "Aku mau istirahat sejenak."
“Oalah, Pak … Pak. Di sini cuman ada tiga laki-laki dewasa. Pak Sam masih repot ngurus bayinya sendiri. Karena istrinya masih dalam masa nifas. Ayahku baru pulang dari sawah. Kamu sendiri yang nganggur. Jadi harusnya kamu tidak perlu keberatan.”