Tum

Ais Aisih
Chapter #15

Tetangga Baru

 

Pak Sono dan istrinya memutuskan untuk membangun rumah di dekat rumah Tum. Di pinggir jalan utama. Jadilah Tum dan Aang memiliki tetangga baru. Karena rumahnya hanya beralaskan tanah dan berdinding anyaman bambu, pengerjaannya memakan waktu tidak sampai satu bulan. Pak Sono dibantu Bapak, Kakek dan Pak Sam.

Bayi Bu Giyah diberi nama Nida Nurah. Menurut kepercayaan orang-orang Mbulu, yang menolong Bu Giyah melahirkan adalah arwah Mbah Nurah. Karena tempat melahirkannya tepat di depan Karang Cina, tempat makam Mbah Nurah berada. Jadi, Bu Giyah dan Pak Sono memberikan nama “Nurah” di belakang nama bayinya.

Anak Bu Giyah ada dua. Putri sulungnya bernama Juwita. Anak manis berkulit gelap, usianya sepantaran dengan Aang dan Tum. Sementara Nida adalah putri keduanya.

“Wi, kalau sudah pindah ke sini, mau sekolah di mana?” tanya Aang pada teman barunya.

Juwita menggeleng ragu. Ia masih tampak malu-malu.

“Sekolah sama kita aja, Wi. Di SD negeri satu. Biar bisa berangkat dan pulang sama-sama.” Tum menyahut.

“Aku belum tahu, Tum. Ikut apa kata bapak dan ibuku saja.”

Bu Giyah yang sudah melewati masa nifas sudah bisa berjalan normal. Wanita berambut keriting itu menyuguhkan sepiring semangka untuk tamu kecilnya. Baru hari ini rumah mereka ditempati.

“Juwi akan bersekolah di SD negeri tiga. Biar dekat sama tempat jualan ayahnya,” kata Bu Giyah sambil mempersilakan Tum dan Aang mengambil potongan semangka berwarna merah merona.

Sontak Aang dan Tum amat bergairah meraih buah segar itu. Jarang-jarang mereka bisa makan semangka. Buah yang biasa dimakan sama mereka hanya belimbing yang bisa dipetik kapan saja di depan rumah Nenek.

“Jangan berebut, di dalam masih ada banyak,” tegur Bu Giyah.

Tum dan Aang manggut-manggut. Mereka terlalu menikmati buah yang mengandung banyak air itu. Bijinya nyaris tak ada, sehingga memudahkan anak-anak untuk memakannya.

Aang sudah menghabiskan semangka pertamanya. Bajunya basah, terdapat bercak-bercak merah air semangka. Ia mengambil sepotong lagi di dalam piring.

“Rakus kamu, Ang,” ujar Tum.

“Kapan lagi bisa makan enak kayak gini, Tum?”

“Kata ibumu, bapakmu berjualan di dekat SD negeri tiga. Memang jualan apa, Wi?” tanya Tum pada Juwi yang baru mulai menggigit semangkanya.

Juwi mengangkat kedua bahu. “Aku juga enggak tahu, Tum.”

“Sayang sekali, kita enggak bisa satu sekolah.” Aang berbicara sambil mengunyah daging semangka. Airnya sampai keluar-keluar dari mulut.

“Tenang aja. Pulang sekolah kita tetep bisa main sama-sama,” sahut Tum.

Lihat selengkapnya