Tum

Ais Aisih
Chapter #16

Murid Baru


Bu Nina yang kini menjadi wali kelas Aang dan Tum tengah memperkenalkan seorang siswi baru. Namanya Helen, memiliki paras yang cantik. Mungkin bisa dikatakan bahwa ia akan jadi anak perempuan tercantik di sekolah mereka. Kedua matanya berwarna cokelat. Rambutnya pirang alami. Ia merupakan keturunan Indo-Jerman.

“Silakan duduk di samping, Tum.” perintah Bu Nina.

Helen mengangguk dengan senyum ramahnya. Ketika ia melangkahkan kaki, semua mata tertuju padanya. Cara ia berjalan begitu anggun tanpa cela. Rambutnya yang lurus tergerai indah. Terselip jepit kupu-kupu di bagian depan rambutnya.

Jika Helen bergerak, aksesoris kupu-kupunya ikut bergerak. Seperti ada seekor kupu-kupu sungguhan yang menghinggap di rambutnya. Tum jadi ingat, ia juga pernah dibelikan sama Mamak. Namun, karena Tum yang sifat dasarnya tomboi, ia tidak pernah memakai jepit kupu-kupu itu.

Helen menjulurkan tangannya pada Tum dengan segenap hati. “Hai, aku Helen. Kuharap kau bisa menjadi temanku.”

“A-aku Tum.” Tum bisa merasakan telapak tangan Helen begitu halus. Ia memandangi kedua telapak tangan sendiri. Amat kasar. Itu karena Tum harus bekerja keras menimba air di sumur. Tangannya jadi kapalan.

Tum menyadari standar anak kota seperti Helen begitu tinggi. Lihatlah! Sepatu pantofel hitam Helen begitu mengilat, dipadankan dengan kaus kaki putih berenda indah. Helen adalah sosok kebalikan dari Tum. Anak itu jelas begitu feminin.

Tum semakin terpesona ketika mendapati gigi putih Helen. Giginya rapi tidak seperti miliknya yang miring ke kanan dan ke kiri. Bibir Helen cenderung hitam, tapi sama sekali tidak mengurangi aura kecantikan di wajahnya. Tum saja yang perempuan amat mengagumi penampilan Helen. Apalagi dengan teman yang laki-laki.

“Kamu harus kenalan sama sahabat terbaik aku,” kata Tum sambil menarik tangan Helen.

Aang sudah menunggu di bawah pohon cemara. Di tempat capung malang pernah dikuburkan di bawahnya. Aang sedang makan ketupat yang dibungkus plastik ditemani sepotong bakwan.

“Aang!” Suara Tum membuat Aang tersentak. Makanan yang dipegangnya hampir terjatuh.

“Tum, ngagetin aja!” Aang melirik ke arah Helen dengan tatapan terpesona yang tak mampu ia pungkiri. Kedua matanya seolah enggan berkedip. Jantung Aang seperti ingin melompat karena kegirangan.

“Ang, kenalan sama Helen, nih. Kalian belum saling kenal, kan?”

“Hei, aku Helen.” Seperti biasa Helen mengulurkan tangannya saat ia menawarkan pertemanan.

“M-maaf, tanganku kotor kena makanan berminyak ini. Namaku Aang. Senang bisa kenal sama kamu, He-len.” Suara Aang sedikit gemetaran. Ia gugup karena pertama kalinya berbicara dengan anak perempuan secantik Helen.

“Kalau gitu terusin aja makannya. Aku sama Tum mau keliling dulu.” Helen menyuguhkan senyum yang dapat mematahkan pertahanan Aang.

“Iya, Ang. Aku mau nemenin Helen lihat-lihat sekolah dulu, ya.”

“Iya, Tum.”

Lambat laun, kedekatan Tum dan Helen menjadi begitu mencolok di kalangan teman sekelasnya. Mereka tidak menyukai Tum. Mereka ingin menjauhkan hubungan Tum dan Helen.

“Helen, kamu enggak tahu kalau Tum itu anak bukit? Orang sana kan miskin. Udah gitu kampungan,” ungkap Bian dengan nada sinis.

Lihat selengkapnya