Tum

Ais Aisih
Chapter #17

Menginap di Rumah Eyang Buyut

 

Sejak Mamak turun tangan mendatangi orang tua Apri dan Agus, tidak ada lagi keluhan Tum tentang kenakalan teman-temannya. Barang siapa yang berani mengusik Tum, Mamak akan membabi buta. Mereka tidak cukup kuat melawan Mamak yang selalu menggebu-gebu kalau berbicara. Begitulah, walau bukan dengan perlawanan fisik, Mamak selalu menang.

“Baiklah, Tum, kamu harus kejar nilaimu lagi. Kata wali kelasmu, nilaimu merosot jauh sejak kau diganggu sama anak-anak nakal itu.” Mamak membetulkan posisi topi Tum yang sedikit miring. Karena hari ini Senin, sekolahnya akan mengadakan upacara bendera rutinan.

“Mak, apa Bapak akan lama di Semarang?” Dua hari yang lalu Bapak berpamitan untuk pergi ke Semarang atas perintah Pak Lurah.

“Bapak menggarap sawah milik Pak Lurah di Semarang. Tidak bisa diprediksi kapan pulangnya.”

Semangat Tum menghilang separonya. Sudah dua hari ini ia mencemaskan Bapak.

“Aku berangkat dulu, Mak.” Tum mencium punggung tangan Mamak tanpa gairah.

“Bapakmu akan mengirim surat untuk kita, Tum,” teriak Mamak saat Tum sudah hampir meninggalkan halaman rumah. Namun, Tum tidak peduli. Yang diinginkannya adalah Bapak berada di rumah.

Dua hari yang lalu, Tum dapat dengan jelas melihat ke dalam mata Bapak. Kedua mata teduh itu mengandung air. Tentu saja Bapak tidak senang berpisah dengan keluarganya. Apalagi kedua anaknya masih kecil-kecil. Namun, Bapak adalah seorang pria dewasa yang memiliki kewajiban sebagai tulang punggung.

Sejak di-PHK dari pekerjaannya, Bapak berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan lain. Sekalinya dapat, tak akan dilepaskannya. Hanya saja harus ada yang dikorbankan, yaitu keluarga. Mau tidak mau, jarak menjadi pemisah di antara mereka.

Hari ini Helen duduk kembali bersama Tum. Bu Nina memindahkan tempat duduk Apri dan Agus di bangku pojok paling belakang. Wali kelas Tum itu sekarang lebih peduli dengan anak didiknya. Ia memastikan tidak ada lagi korban dari anak-anak nakal itu sebelum mendapat protes kembali dari wali murid.

Tum menatap kuku Helen yang dicat warna oren. Temannya itu terlihat sangat feminin, selalu begitu. Rambutnya wangi seperti biasa. Saat dewasa nanti, Tum yakin sahabatnya itu bisa menjadi seorang model.

“Kenapa, Tum?” Pertanyaan Helen menyentakkan si anak bukit.

“Kamu selalu cantik dan menarik, Len. Enggak sepertiku.”

Helen menyeringai lebar mendengar celotehan konyol Tum. Giginya yang berbaris rapi tampak putih cemerlang. Helen meraih tangan Tum. Tangan yang terasa begitu kuat.

“Jangan merendahkan diri sendiri, Tum. Hidup ini indah karena banyak karakter yang tercipta.”

Tum tidak terlalu menanggapi. Ia hanya mengatakan hal sejujurnya. Helen dan dirinya tentu amat bertolak belakang.

Akhir-akhir ini Tum sering pulang ke rumah Eyang Buyut. Kadang sekadar numpang buang air atau numpang makan.

“Kamu kenapa banyak melamun, Tum?” tanya Buyut menyodorkan sebuah piring keramik putih, bergambar bunga di pinggirannya. Piring tersebut berisi nasi ditemani orek tempe dan telur dadar.

Tum menggeleng. “Hanya sedikit rindu Bapak.”

“Semua orang pasti merindukan keluarganya.”

“Oh, ya? Apakah Buyut rindu sama anak-anak Buyut?”

“Tentu. Setiap hari aku merindukan mereka. Berharap mereka akan mengunjungiku.”

“Kenapa tidak meminta Nenek atau Mamak buat nemenin Buyut?”

Lihat selengkapnya