Tum merasa kehilangan kata-kata. Aang bilang hubungan mereka sudah tak sehangat dulu lagi. Jarak dan komunikasi menjadi kambing hitam merenggangnya hubungan persahabatan di antara mereka. Memikirkan hal itu sungguh membuat Tum sedih.
“Aku tahu, memang seharusnya kau lebih baik berteman dengan anak perempuan, Tum. Bukan denganku. Kulihat kau sangat dekat dengan Helen. Lagipula, mungkin kau tidak betah dengan Mbulu lagi. Lebih nyaman di rumah Eyang buyutmu itu.” Aang terlihat sinis daripada yang biasanya. Membuat Tum tidak mengerti.
“Ang, kamu nggak ingat, bukan? Bagaimana kesendirianku di rumah? Kamu selalu bermain bersama Juwi tanpa aku. Setiap kali aku ke rumahmu, ibumu bilang kamu lagi sama Juwi. Kamu yang berubah. Aku tinggal di tempat Eyang Buyut untuk menemaninya. Lagipula, aku enggak bisa menahan rinduku sama Bapak kalau terus di rumah. Harusnya kamu tahu itu.”
“Tentang Helen, kamu sendiri yang memberi jarak. Bukan aku atau Helen. Kamu selalu merasa minder padanya. Kamu sering bilang Helen tidak cocok berteman dengan kita karena memiliki level yang berbeda. Asal kamu tahu Ang, Helen menganggap semua teman itu setara,” lanjutnya.
"Memang betul, dia itu berbeda dari kita. Helen anak orang kaya. Dia juga anak kota yang berkelas. Kita apa? Cuman anak bukit yang pantas menjadi olok-olok anak desa. Terang saja, aku tidak mau bergaul dengan Helen. Kita bisa jadi bahan ejekan mereka lagi." Suara Aang meninggi.
"Tapi, Ang. Helen itu berbeda. Meski dia anak orang kaya, dia tidak seperti anak yang lain."
"Sudahlah, Tum. Kamu lanjutkan saja bergaul sama Helen. Siapa tahu jadi ketularan kaya juga. Nah, kalau sudah kaya, kau pantas buat merasa pongah. Sama seperti anak-anak desa itu."
"Ang, kumohon jangan salah paham. Kamu tetap sahabat terbaikku." Air mata Tum mulai turun.
Wajah Aang memanas. Hatinya terasa perih. Namun, ia tidak pernah mau menerima apa pun penjelasan Tum. Yang ia tahu, Tum sudah tidak lagi seperti dulu.
Aang selalu pulang sendiri lewat jalan utama. Sementara sahabatnya itu mulai betah tinggal di rumah Eyang buyutnya. Padahal selama ini Tum sering mengeluh tidak suka kalau harus menginap di sana. Untuk itulah Aang akhirnya menarik kesimpulan sendiri. Tum sudah berubah.
Tum sering menangis memikirkannya. Seharusnya Aang bisa lebih peka terhadapnya. Bisa mengerti betapa rapuhnya Tum tanpa Bapak di sisinya. Ia hanya sedang melarikan diri dari perasaan rindu yang tiba-tiba menghampirinya. Untuk bisa betah di rumah Eyang Buyut, Tum butuh beradaptasi. Sampai pada suatu waktu, Tum keceplosan pada Eyang Buyut.
“Buyut, kenapa tidak memasang listrik saja? Bukankah itu akan mempermudah kehidupan kita? Semua orang di desa ini sudah memakai listrik di rumahnya. Kalau bisa, bikin kakus sendiri juga. Biar pantat kita tidak dilihatin orang lain saat buang air besar.” Seperti biasa Tum berceloteh saat hendak tidur. Ia tidak pernah mau tidur sendiri di kamar lain. Sekalipun banyak kamar kosong di rumah Eyang Buyut.