Pikiran satu dengan yang lainnya saling bertaut di benak Tum. Ia duduk seorang diri di bawah pohon belimbing. Sengaja menanti semilir angin membelainya. Mencari kesejukan. Walau bau kotoran kambing seakan menjadi aroma terapi, ia sudah tak lagi peduli.
Kemarin ia telah berpamitan pada Eyang Buyut untuk kembali pulang ke rumahnya. Rumah yang menjadi saksi bahwa dirinya telah terlahir di atas muka bumi. Walau orang tua itu memasang raut amat sedih, Tum tetap menginginkan pulang.
“Aku janji, lain waktu akan tinggal di sini lagi. Buyut jangan sedih. Aku hanya rindu dengan rumah, dengan Mamak dan Trias. Setelah rasa rinduku terobati, aku akan kembali ke sini.” Tentu saja Tum menginginkan untuk kembali tinggal bersama buyutnya. Jarak ke sekolah menjadi lebih dekat. Ia tidak perlu capek-capek jalan kaki. Belum lagi Eyang Buyut yang selalu menuruti keinginan Tum.
Permasalahannya bukan hanya sekadar suka atau tidak. Tum memiliki beribu pertanyaan di dalam tempurung kepalanya. Untuk mendapatkan jawaban itu, ia harus pulang. Tum harus menggali hal-hal yang membuat penasaran. Dan rasa penasaran itu semakin memburunya saat teman-teman di kelas menjulukinya dengan julukan bervariatif.
“Anak lereng!”
“Anak bukit!”
“Anak gunung!”
Kepala Tum terus berputar-putar. Selama ini pengetahuan tentang Mbulu hanya sebatas tempat tinggal. Tempat untuk bertemu pagi hingga malam menjemput. Tidak pernah dipusingkannya istilah-istilah yang harus digunakan untuk menyebut Mbulu. Ia dan warga Mbulu lainnya hanya tahu kalau Mbulu adalah sebuah bukit. Namun menariknya, Tum menjadi amat penasaran dengan pandangan orang lain.
Nenek berdeham dari belakang Tum. Kedua tangannya sibuk menggelung rambutnya yang panjang dan lebat. Walau rambut Nenek masih belum menampakkan uban, tetapi bagian ujung-ujungnya agak kasar dan bercabang.
“Kenapa kau di sini? Apa sudah tidak betah tinggal bersama buyutmu?” Nenek duduk di atas rumput, tidak jauh dari tempat Tum duduk.
“Aku betah di sana, Nek. Pulang karena kangen sama Trias dan Mamak.”
“Baguslah.”
Tum menghela napas. “Nek, bolehkah aku bertanya?”
“Bukankan kerjaanmu memang selalu nanya-nanya? Kalau aku memiliki stok jawabannya, pasti akan kuberikan dengan cuma-cuma.”
“Nek, Mbulu ini sebenarnya bukit, gunung, atau lereng gunung?”
“Hey, kenapa kau menanyakan hal bodoh seperti itu?”
“Karena semua teman-teman di kelas menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda. Aku hanya tahu kalau Mbulu terletak di dataran tinggi. Lebih tinggi dari Desa Kedungrandu yang terletak di bawah sana.”
“Ya, memang begitu.”
“Jadi, Mbulu ini disebut bukit, gunung atau lereng gunung?” Tum menuntut jawaban.
Nenek terpaku sejenak. Sejak ia tinggal di sini berpuluh-puluh tahun silam. Ia bahkan tidak pernah memikirkannya.
“Apa hal itu sangat penting buatmu?”
Tum mengangguk cepat.
“Kata teman-temanmu tidak ada yang salah, Tum.”
Tum memasang muka bingung. Menyematkan pertanyaan-pertanyaan yang tersirat pada setiap ekspresi. Nenek tersenyum lembut memandang wajah lugu sang cucu.
“Orang-orang desa, suka menyebut dataran tinggi sebagai gunung. Mereka tidak mau ribet membedakan mana bukit mana gunung. Ada pula yang menyebut Mbulu ini sebagai bukit, karena memiliki puncak yang tidak terlalu tinggi. Lain lagi dengan yang menyebutnya sebagai lereng gunung. Karena posisi tanah miring dan menanjak. Lagi pula tempat yang kita tinggali berada di kaki Gunung Tugel.”
“Semua jawaban benar. Terserah orang mau menganggapnya sebagai apa. Karena pandangan setiap orang terhadap sesuatu itu berbeda-beda, Tum,” lanjut Nenek.
Tum menggaruk kepalanya. Jawaban nenek membuatnya bertambah sakit kepala.
“Sudah jangan dipikirkan. Yang paling penting adalah kau tahu bahwa kau terlahir di bumi ini.” Nenek menunjuk ke bawah. Ke arah tanah. “Kapan kenaikan kelas, Tum?” Nenek mengalihkan topik pembicaraan. Ia tahu, cucunya memiliki segudang pertanyaan lain. Untuk mengantisipasi sasaran dari banyak pertanyaan di benak Tum, memang lebih baik membelokkan topik.
“Besok, Nek.”
“Kira-kira kau ranking berapa kali ini?”
“Sepertinya tidak ada. Karena aku jarang mengerjakan tugas dan sudah banyak sekali absen.” Tum mengingat bagaimana teman-teman yang mengganggunya di kelas mengacaukan hari-harinya. Ia jadi banyak absen karena kondisinya yang tertekan.