1999.
Hari penerimaan rapor tiba. Semua wali murid sudah berkumpul di kelas. Mamak dan Bu Sam duduk di bangku paling depan. Sementara ibunya Helen di belakang. Anak-anak dengan perasaan was-was menunggu di luar.
“Ang, enggak berasa, ya, kita udah mau naik kelas empat. Udah dari TK kita sama-sama terus. Tapi akhirnya kita terpisah juga. Mudah-mudahan kamu enggak lupa sama aku.”
“Apaan sih, Tum. Kita kan, masih bisa ketemu di rumah.”
“Betul juga, ya.” Tum menggaruk kepalanya yang tak gatal. Cengengesan tak jelas. Ia sudah kembali ceria sejak berbaikan lagi dengan Aang.
“Aku senang kalian udah baikan lagi. Aku ikut sedih, kamu mau pindah sekolah, Ang.” Helen berkata tulus.
“Iya, Len. Semoga kita bisa ketemu lagi. Aku senang punya teman seperti kalian.”
Akhirnya, satu demi satu wali murid keluar kelas, setelah penantian yang cukup panjang dan menegangkan. Mamak keluar dengan wajah sumringah. Tampak giginya yang putih bersih.
“Tum, syukurlah kau naik ke kelas empat.”
Tum lega. Mamak tidak marah karena ranking putrinya tidak masuk sepuluh besar seperti dulu.
“Mamak enggak marah?” Tum melihat-lihat angka di buku rapornya yang rata-rata nilanya hanya enam.
“Enggak. Kan, kamu banyak enggak masuknya.”
“Mm … Mak, kalau gitu aku nemenin Aang sampai ibunya keluar, ya.”
“Ya, tapi aku tunggu kamu di rumah Eyang Buyut. Soalnya Trias dititipkan di sana.”
Tum mengangguk. Mamak berjalan membawa berat badannya ke luar gerbang sekolah.
Hampir semua wali murid dan teman-teman Tum sudah mendapatkan rapor masing-masing. Termasuk Helen dan ibunya. Mereka sudah pamit duluan. Namun, Bu Sam belum muncul juga. Karena dilanda rasa penasaran, Tum mengintip dari sisi pintu. Bu Nina sedang memberi wejangan kepada Bu Sam. Saat menelisik ke ruang kelas, Tum baru menyadari kalau sudah tidak ada orang lagi selain ibunya Aang dan wali kelasnya.
“Bu, gimana?” tanya Aang antusias melihat ibunya keluar.
“Ang, kamu disuruh belajar lebih giat sama Ibu guru. Kamu mengulang lagi kelas tiga.”
Raut wajah Aang tetiba sendu.
“Ang, kamu enggak papa, sekarang kan?” tanya Tum prihatin. Ia tidak menyangka justru Aang yang tinggal kelas. Bukan dirinya.
“Aku malu sama kamu. Padahal umurku lebih tua, tapi aku akan jadi adik kelasmu, Tum. Untungnya saja aku akan pindah sekolah, jadi enggak perlu merasa malu sama yang lain.”
“Tum mau pulang bareng?” tawar Bu Sam.
“Eh, enggak, Bu. Mamak udah nungguin aku di rumah Eyang Buyut.”
“Ya sudah. Kalau begitu kami duluan, ya.”
Hari itu, terakhir kalinya Tum melihat Aang di sekolah yang sama.
***
“Tum, mau ke rumahku enggak? Nanti habis Magrib Kak Mina mau dilamar,” bisik Aang ke telinga Tum. Mereka habis main dari sawah. Sepertinya Aang sudah melupakan nasib buruk yang tengah menimpanya. Bahwa ia tidak naik ke kelas empat.
“Kak Mina dilamar?” Tum mengeja pikirannya. Menguraikan kata lamaran yang terdengar cukup janggal di telinga.
“Iya. Ada orang yang mau menjadikan Kak Mina istri.”
“Berarti Kak Mina mau nikah?”