Kabar baik datang dari Aang saat hangat pagi menyapa. Kak Mina sudah memilih satu di antara dua pria yang datang melamarnya.
“Kak Mina pasti sangat bahagia, Ang,” ujar Tum yang sedang mengupas kulit tempe. Mamak akan membuat mendoan.
“Bukan main senangnya Kak Mina.” Aang duduk bersila, memperhatikan cara Tum mengupas tempe yang terbungkus daun pisang dan dilapisi daun jati di bagian luarnya. Tempe khusus mendoan sangat tipis bentuknya. Ia dengan ringan tangan membantu sahabatnya mengupas tempe.
Mamak dari dapur dengan suara menggema meneriaki Tum. “Tum, tempenya mana? Lama banget!”
“Ini udah selesai kok, Mak.” Tum merebut tempe terakhir di tangan Aang dengan hati-hati. Takut makanan yang terbuat dari kedelai itu robek. Ia memasukkannya ke dalam baskom. Lalu dikasih ke Mamak.
Tempe-tempe tadi dimasukkan ke dalam adonan tepung yang sudah ditambahi bumbu dan irisan daun bawang. Tum mengamati bagaimana adonan itu menempel pada tempe di dalam minyak. Setelah agak kering, Mamak meniriskan tempe yang sudah menjelma menjadi mendoan itu ke penyaringan. Kemudian memasukkannya ke dalam piring.
“Bawa ke depan buat Aang.” Walau kalimat yang dilontarkan Mamak agak ketus, tapi Tum mengagumi sifat Mamak yang satu ini. Biarpun sang ibu galak setengah mati, soal berbagi, wanita bertubuh tambun itu menjadi yang terdepan.
“Baik, Mak.” Dengan senang hati, Tum membawa piring itu ke ruang tamu.
“Cobain, Ang!” tawar Tum sembari mencomot selembar tempe mendoan paling atas. “Aw, Aduh!” Gadis kecil itu mengibaskan tangannya.
“Sabar, Tum, masih panas. Paling-paling mamakmu baru mengangkatnya dari wajan.”
Tum meringis malu. Tentu ia sudah tidak tahan lagi dengan aroma gurih yang menguar dari lembaran mendoan di hadapannya.
“Ang, jadi Kak Mina pilih siapa?” tanya Tum melanjutkan pembahasan tadi.
“Pilihan kita semua.”
Tum tersenyum. Ia tahu tebakannya tidak akan meleset. Namun, seharusnya tidak perlu terlalu bangga. Karena bukan dirinya saja yang menebak dengan benar.
“Kalau Kak Jasiman yang terpilih, lalu bagaimana nasib Kak Sito?”
“Itu bukan urusan kita, Tum. Mungkin dia akan mencari wanita lain.”
“Oh, gitu. Eh, kayaknya udah enggak panas lagi. Kita cobain mendoannya, Ang.”
Keduanya menikmati lezatnya tempe mendoan buatan Mamak. Aang mengangguk-angguk. Tidak dipungkiri setiap masakan yang dibuat Mamak memang selalu terasa nikmat.
***
Pak Sam menggandeng tangan Kak Mina, diiringi Bu Sam yang berjalan tertatih di belakangnya. Bu Sam terlihat kesulitan menggendong Bayi Kris yang bertanya-tanya akan dibawa ke mana dirinya.
“Bu Dar, Bu Dar!” teriak Pak Sam dari luar.
Mamak baru selesai memasak. Ia mengelap tangannya ke baju. Tergopoh-gopoh wanita gendut itu menghampiri tetangganya yang masih berteriak memanggil namanya.
“Ada apa, Pak?”
“Ini si Mina mau berubah,” kata Pak Sam berlepotan.
“Hush!” Bu Sam menabok pantat suaminya. “Anu, Bu Dar, Ulan mau masuk ke tubuh Mina.”
“Ya sudah, bawa Mina masuk!”
Kedua bola mata Kak Mina yang hitam menatap kosong ke depan. Ia duduk bersandar pada dinding anyaman bambu. Tum dan Aang sudah pamit pergi setelah mengosongkan piring mendoan. Sementara Trias asyik mencari undur-undur.
Setelah kondisi tenang dan tidak ada suara lagi yang terdengar, Kak Mina seperti orang kaget. Kemudian posisi duduknya berubah tegak. Matanya menatap lembut satu demi satu orang di depannya. Ia tersenyum.
“Ulan?” Mamak menelisik mimik wajah Kak Mina. Tampak muram. Ada gumpalan sedih yang menyerbu ke dalam wajah tenang itu.
“Bapak Sam, Ibu Sam dan Mbak Dar. Maaf, saya harus pamit. Terima kasih banyak selama ini kalian semua sudah menerima saya dengan baik.” Ulan terisak sedih.
“Pamit? Maksudnya?” tanya Mamak.