Kak Mina tampak bahagia saat duduk di pelaminan bersama Kak Jasiman. Tum selalu mengamati setiap tamu yang datang. Wajah-wajah yang terlukis di pesta pernikahan itu hanya kebahagiaan. Termasuk juga Kak Rasito. Walau ia bukan lelaki yang dipilih Kak Mina, sejak tadi tertawanya terlihat cukup lebar saat meledek kedua mempelai.
Saat acara yang digelar pada malam hari itu belum usai, Mamak mengajak Tum pulang. Trias sudah mengantuk berat katanya.
“Acaranya belum selesai, Mak. Nanti aku bisa pulang sendiri.” Tum merengek sepanjang jalan.
Di bawah cahaya lampu neon yang remang-remang, kedua mata Mamak melotot, seperti hampi keluar. Tum menelan ludah. Ia tak mampu lagi berkata-kata.
Trias langsung jatuh tertidur di kasur begitu sampai rumah. Mamak menyuruh Tum menginjak-injak tubuhnya yang gendut. Ia sangat kelelahan karena membantu memasak di acaranya Kak Mina. Tubuhnya terasa pegal-pegal. Mau tidak mau Tum menurut. Daripada nanti terkena serangan jurus-jurus Mamak.
“Mak, apa Alim bisa lihat Kak Mina nikah?” tanya Tum ragu-ragu. Berharap Mamak tidak marah dengan pertanyaannya.
“Sudahlah, kau fokus saja menginjak-injak tubuh mamakmu ini.” Mamak mengalihkan perhatian Tum karena ia juga tidak tahu jawabannya.
“Kalau Ulan gimana, Mak?”
Mamak tahu Tum akan terus bertanya hal sama keesokan harinya. Ia harus menjawab setidaknya satu dari dua pertanyaan putrinya agar tidak pusing dimintai jawaban terus-terusan.
“Ulan enggak bisa masuk ke tubuh Mina lagi.”
Tum kaget sampai lompat dari tubuh Mamak.
“Hey, kenapa pakai acara turun segala?” cecar Mamak.
Tum naik kembali ke punggung Mamak. Menginjak-injak tubuh yang terasa sangat empuk di kaki Tum.
“Kenapa, Mak?”
“Dulu Ulan pernah bilang, dia tidak akan bisa memasuki tubuh wanita yang sudah menikah. Dia juga sudah pamitan.”
“Kok, aku enggak tahu?”
“Waktu itu kamu pergi main sama Aang. Udah jangan nanya-nanya terus. Pergi sana ke kamarmu. Tidur udah malam.”
"Iya, Mak."
Rasanya baru tadi ke kamar, Tum sudah mendengar suara dengkuran keras dari kamar Mamak.
Tum memandang lampu minyak. Apinya bergerak-gerak. Menandakan angin di luar rumahnya cukup besar. Di rumah Aang pasti tinggal para pemuda yang begadang. Sudah menjadi adat lama masyarakat. Kalau tidak bermain kartu, mereka memasang layar tancap dan memutar film laga atau komedi. Film yang diputar itu-itu saja.
***
Dua pekan setelah libur panjang, sekolah mulai buka kembali. Aktivitas kegiatan belajar-mengajar belum diadakan pada hari pertama masuk. Para siswa diinstruksikan untuk bersih-bersih kelas. Setelah itu, mereka dipersilakan untuk memilih bangku masing-masing.
“Len, kamu mau kan duduk sama aku?” tawar Tum pada Helen.
“Maaf, Tum, tapi aku udah janji sama Mita mau duduk sama dia.”