Bendera merah-putih seharusnya sudah berkibar di puncak tiang. Namun, ada sebuah insiden terjadi. Bendera yang sudah bertengger di atas melorot turun. Semua siswa berteriak-teriak panik. Takut bendera mereka jatuh ke tanah.
Dua orang guru cekatan berlari mendekat ke tiang bendera untuk membantu murid-muridnya menaikkan kembali sang saka merah-putih. Semua dapat bernapas dengan lega setelah bendera merah-putih dapat berkibar dan melambai-lambai tertiup angin.
Ada kejadian yang seketika mencuri perhatian semua orang. Suara dentuman keras dari jalan raya. Kedua mata Tum mengawasi barisan di depan dan di belakangnya. Anak itu bertanya-tanya dalam hati kenapa masih ada tiga ruang kosong? Semua orang tiba-tiba bubar barisan. Para guru kewalahan menghentikan para siswanya yang sudah berlarian. Siswa-siswi merapat ke pintu gerbang. Mereka tahu ada sebuah kecelakaan hebat terjadi.
“Ayo, Tum!” Rini menarik-narik tangan Tum untuk melihat apa yang terjadi.
Tum menggeleng lemah. Lututnya terasa amat lemas. Ia seperti bisa menebak apa yang terjadi. Kemudian, ingatannya kembali pada waktu beberapa tahun silam.
Rini sudah bergabung dengan siswa lain yang ramai di belakang pintu gerbang. Guru-guru sibuk memberi instruksi agar anak didiknya masuk ke dalam kelas.
Tum terduduk di tengah-tengah halaman sekolah yang kosong. Tertinggal dirinya sendiri bersama air mata yang merebak membasahi kedua pipinya. Tum menangis tergugu-gugu. Mengingat kejadian yang menimpa Alim dulu.
“Tum, ayo masuk! Teman-temanmu sudah kembali ke kelas.” Bu Endang menarik tangan Tum dengan lembut.
“Bu Guru ….” Lidah Tum terasa kelu. Ia berjalan tertatih mengikuti langkah Bu Endang, wali kelas empat. Air mata Tum terus mengalir.
“Kamu kenapa?” tanya Bu Endang tak mengerti.
Tum mengatur napas. Masih sesenggukan ia menjawab, "Resi, Mita dan Helen tidak ada dalam barisan sewaktu upacara. Mereka ke rumah Resi untuk mengambil dasi milik Resi yang tertinggal.”
“Apa?” Bu Endang mulai kelimpungan. Ia menyuruh Tum segera masuk ke kelas.
Tum menangis tersedu-sedu. Ia membenamkan wajahnya di atas meja. Rini menatapnya prihatin. Akan tetapi, ia tidak berani untuk bertanya pada Tum.
Semua kelas dibubarkan. Kecuali kelas empat. Bu Endang dengan bersimbah air mata, serta bibir gemetaran menyampaikan berita duka.
“Anak-anak. Hari ini kita kehilangan dua teman kita. Mereka meninggal dunia karena kecelakaan. Ibu sangat mengimbau kepada kalian, agar selalu hati-hati saat menyebrangi jalan raya. Hari ini sekolah dibubarkan.” Bu Endang tampak pucat mengetahui kecelakaan yang menimpa Helen dan Mita.
Seketika berita sudah menyebar ke seluruh penjuru Kedungrandu dan Mbulu. Mamak berada di luar gerbang bersama Trias. Menunggu Tum keluar.
“Tum, kita ke rumah Buyut sekarang!” Mamak menuntun Tum dan Trias. Karena Trias sekarang sudah masuk sekolah dasar, Mamak jadi lebih sering berada di rumah Buyut menunggui kedua putrinya pulang.
“Mak, apa Mamak sudah dengar yang terjadi?”