“Helen anak yang baik. Siapa saja pasti akan merasa kehilangan, Tum.” Aang duduk di undak-undakan ke tiga dari atas. Sementara Tum duduk di bawahnya.
“Aku sedih, Ang. Orang yang meninggal enggak akan hidup lagi ‘kan? Kita nggak akan bisa lihat mereka lagi. Nggak bisa main lagi sama mereka.” Tum menghapus air matanya.
Aang mengusap lembut bahu Tum. “Ya, Tum. Tapi kita enggak boleh terlalu memikirkannya biar enggak jatuh sakit. Sekarang fokuslah sama orang-orang yang masih hidup. Mereka menyayangi kita.”
“Gimana sekolahmu, Ang?” Tum mengalihkan topik pembicaraan. Agar kesedihannya tidak terlalu berlarut-larut mengingat kematian teman-temannya.
“Sekolahku baik. Tapi semua terasa asing. Temenku cuma Juwi. Sama aja kayak waktu di SD 01. Temenku cuma kamu.” Aang tertawa. Memang bukan hal lucu, tapi ia berharap Tum akan sedikit terhibur.
“Bukankah itu kesempatan yang bagus. Kamu bisa terus deket sama Juwi.” Tum tahu kalau sebenarnya Aang sudah lama naksir sama temannya yang berkulit hitam itu. Biarpun begitu, Juwi tetap anak yang manis.
“Lalu bagaimana dengan Bian?”
“Bian?”
“Ya, bukankah kau naskir berat sama anak nakal itu?”
Keduanya tergelak.
“Belum saatnya kita membahas yang belum waktunya, Ang.” Tum tersenyum. Mereka masih anak ingusan yang hanya tahu belajar dan bermain saja. Perkara naksir, mungkin akan menjadi urusan mereka setelah dewasa nanti.
Aang mengangguk setuju. “Kau yang tadi mulai duluan, Tum. Oh, ya. Ada yang mau aku sampaikan padamu.”
“Apa itu?”
“Ini soal Juwi.”
“Kenapa sama Juwi?”
Aang menghela napas berat. Kelihatannya hal yang serius. “Juwi mau pindah lagi ke kota. Sama keluarganya.”
“Hah? Serius?” Belum tuntas kepedihan di hati Tum, ia harus kembali menelan pil pahit.
Aang mengedikkan bahu. “Aku tahu dari Juwi. Biar nanti dia yang cerita sendiri alasannya. Kita tunggu saja.”