Sudah terlalu banyak kejadian yang membuat dada Tum terasa sempit. Terutama kematian Alim, Helen dan Mita yang sama-sama terlibat dalam kecelakaan maut. Orang-orang dengan berisiknya berspekulasi bahwa mereka yang tertabrak kendaraan roda empat memang sudah dijadikan tumbal oleh segelintir orang jahat.
Setiap hari ada saja orang membahasnya. Terutama orang tua yang menjemput anaknya ke sekolah. Mereka berkumpul menunggu bel pulang berbunyi sambil bergosip.
Pikiran Tum juga menjadi kalut dengan kepindahan Aang ke SD negeri 03. Ia merasa kesepian karena harus pergi-pulang sendiri berjalan kaki.
Sore hari saat matahari sudah menghangat, Tum meringkuk di atas dipan. Semua pikiran-pikiran bergumul jadi satu. Tum merasa sakit di bagian ulu hati. Seperti ada sebuah parang yang menembus dadanya. Tum merasakan sakit setiap kehilangan seseorang yang ia sayangi. Ia ingin merengkuh semuanya dalam satu dekapan hangat.
"Tum ... Tum." Suara Mamak yang seperti tak ada habisnya selalu memanggil-manggil nama anak sulungnya tersebut.
Tum bergegas dan membunuh segala yang dilamunkannya tadi demi memenuhi panggilan Mamak.
"Kau jangan main sendiri saja, Tum. Ajak adikmu main!" Biasanya hanya ada dua alasan Mamak sampai marah-marah. Kalau tidak kehabisan uang, pasti Mamak sedang kelelahan.
"Ayok, Trias!" Tum menyeret tangan Trias yang rupanya sedang terkantuk-kantuk ke kamar.
"Tidurlah! Jangan keluar dulu sebelum Mamak berhenti marah-marah," titahnya kepada sang adik.
Tum mengunci pintu kamar. Dilihatnya Trias sudah tidur dengan nyaman.
Suara Mamak di luar seperti kesetanan. Ia memaki apa saja yang ada di dekatnya. Tum memeluk lututnya. Selama ini ia selalu menguatkan diri dengan cara tidak menangis. Namun, kali ini saja gadis kecil itu ingin melakukannya.
Tum tergugu-gugu menahan segala kesedihan sendirian. Ia rindu sama Bapak yang masih di Semarang. Ia rindu sama Mamak yang tidak marah-marah. Juga kepada semua sahabat-sahabatnya yang sudah tiada. Tum ingin dunia tahu betapa menderitanya ia selama ini.
***
Keesokan siang harinya.
"Ang, aku lihat beberapa hari ini kamu enggak sekolah?" tanya Tum yang masih mengenakan seragam merah-putih. Anak itu baru pulang sekolah.
Tum menemukan Aang yang sedang melamun di jalan berundak. Untuk itulah, ia menyambangi sang sahabat yang terlihat galau.
"Aku keluar dari sekolah, Tum." Aang tersenyum putus asa.
Pernyataan yang terlontar dari mulut Aang menikam batin Tum dan membuatnya ngilu. Bukankah pendidikan itu teramat penting?
"Ang, kenapa kamu harus putus sekolah? Apa kamu enggak merasa sayang?"