Baru dua jam Tum tertidur, ia harus terbangun mendengar suara teriakan Mamak. Agaknya Mamak sedang marah-marah. Kali ini entah apa penyebabnya, yang jelas bukan masalah uang. Bapak sudah menitipkan sejumlah uang lewat Pak Lurah kemarin.
Tum menguap panjang dengan irama masih dikutuk oleh rasa kantuk. Jantung Tum seketika seperti terlepas dari tempatnya dan melayang entah ke mana ketika suara Mamak terdengar semakin menggelegar. Entah kapan Mamak bisa berubah menjadi manusia yang lebih lembut.
Langkah gontai Tum mengantarkannya ke ruang makan, di mana ada Mamak yang sedang membersihkan pecahan gelas. Trias duduk di kursi sambil memainkan jemarinya.
"Ada apa, Mak?" Tum menyesal bertanya pada Mamak di saat suasana hati Mamak belum stabil. Bisa-bisa Tum kena sasaran juga.
"Lihatlah ulah adikmu, Tum! Habis nanti perabotan di rumah," kata Mamak. Wanita bertubuh besar itu terus saja mengomel.
Tum memandang ke arah sang adik yang wajahnya tampak sedih dan menyesal. Trias merupakan tipe bocah pendiam, tetapi bukan penurut. Ia suka bikin Mamak kesal dan berteriak. Seperti saat kemarin waktu Mamak menyuruh Trias belajar cebok sendiri. Sepanjang hari yang dibahas itu terus sampai gendang telinga Tum terasa berkedut. Trias sudah semakin besar, tapi belum bisa cebok sendiri.
"Mbak Dar, Mbak Dar". Suara dari luar rumah terdengar berisik. Suara itu adalah milik Bu Sam.
Mamak terkejut sampai tidak terasa melukai tangannya sendiri dengan pecahan beling runcing.
"Aduh." Jari telunjuk Mamak bagian kanan mengeluarkan darah. Buru-buru jari yang terluka itu langsung dihisapnya.
Tum keluar duluan untuk menyambangi Bu Sam. Saat cahaya matahari menerpa ke arah mata, Tum mengerjap perih. Ia baru bangun tidur dan belum sempat cuci muka.
"Ada apa, Bu Sam?" tanya Tum yang mendadak panik. Pikirannya langsung tertuju kepada Aang.
"Mamakmu mana, Tum?" Bu Sam malah balik bertanya.
"Ada apa?" Sekonyong-konyong Mamak keluar sambil memegangi jarinya yang terluka.
"Itu si Aang, Mbak. Sejak kejadian semalam, dia jadi ngamuk-ngamuk sendiri."
Tum langsung berlari ke rumah Aang begitu mendengar penuturan Bu Sam.
Kakek dan Pak Sam sedang memegangi tangan Aang. Nenek memegang Al Qur'an kecil di tangannya. Dibacakannya surat-surat pendek di hadapan Aang.
Aang seperti bukan Aang. Seluruh bagian tubuh Tum mendadak menjadi ngilu semuanya. Aang meraung-raung seperti kesetanan. Kedua matanya bagai hilang kendali dan mau terlepas. Sorot mata itu menyatakan rasa amarah dan dendam tertahan.
Tum bisa mengerti dengan kondisi tersebut. Kalau saja Aang bisa mengungkapkannya, pasti anak itu tidak akan kehilangan kewarasan.
"Ang, kamu kenapa? Kita main, yuk!" Tum sedang berusaha menyadarkan Aang.
"Tum, jangan mendekat! Nanti kau bisa kena amuk," seru Kakek yang tampak kesulitan memegangi tangan Aang yang terus menggeliat bagai belut.