Pak Sam dan istrinya melarang Tum menemui Aang. Namun, Tum tetap nekat pergi ke kamar paling belakang.
"Ang ... Ang. Kau dengar suaraku?" Tum memanggil-manggil Aang.
"Tum, apa yang kau lakukan?" Bu Sam memasang raut marah karena tindakan Tum yang nekat.
"Di mana Aang, Bu? Aku hanya ingin melihat kondisinya."
"Tum, dengarkan aku! Aang bukanlah Aang yang dulu. Sebaiknya kamu pulang," imbau Pak Sam.
Tum tetap bersikukuh mau menemui sahabatnya.
Bu Sam dan Pak Sam akhirnya menyerah juga melihat kegigihan anak Darinah itu. Mereka memberikan kunci kamar di mana Aang berada.
"Berbicaralah dengan baik. Jangan membuatnya marah. Kalau tidak, Aang akan mengamuk." Pak Sam memperingatkan.
Tum berjanji kepada orang tua sahabatnya itu.
Tum tidak menyangka ternyata Aang bukan berada di kamarnya sendiri. Sang sahabat dipindahkan ke ruangan kecil yang kosong. Ruangan itu berada di samping kandang kambing.
Takut-takut Tum memasukkan anak kunci ke lubang sampai tidak sengaja membuatnya terjatuh. Suara kambing mengembik menambah porsi rasa takut Tum. Ia takut Aang tidak mengenalinya lagi.
Dengan tekad yang bulat, Tum berhasil membuka pintu kayu. Pintu itu berderak saat Tum mendorongnya.
Ruangan kecil yang dihuni oleh Aang cukup gelap. Cahaya matahari menerobos masuk ke celah pintu. Aang meringkuk menempel dinding triplek dan menutupi matanya karena silau.
"Ang, apa aku boleh masuk?" Tum bertanya. Tangisnya hampir meledak, tapi ia tahan.
Aang yang beberapa waktu lalu masih terlihat sehat dan baik-baik saja. Aang yang masih bercerita banyak hal. Kini, kondisinya begitu mengerikan.
Aang seperti ketakutan. Wajahnya penuh bekas cakaran. Kukunya panjang-panjang dan hitam. Napasnya ngos-ngosan seperti sedang dikejar-kejar penjahat.
Tum jadi teringat akan mimpinya tentang pengeroyokan terhadap Aang. Kepala dan tubuh Aang dipukuli oleh orang-orang tak bertanggung jawab karena salah tangkap. Akibatnya, berdampak amat fatal seperti ini.
Air mata Tum akhirnya jatuh terurai. Tatapannya begitu nelangsa. Banyak cerita yang sudah dilewati bersama Aang. Dengan sedikit ragu, tangan Tum terulur. Ia menggenggam tangan Aang yang dihinggapi banyak daki. Entah berapa hari Aang tidak mandi.
"Ang, nanti biar aku bilangin ke ayah dan ibumu agar kau dimandikan, ya."
Aang hanya menatap wajah Tum dengan mata tidak berkedip. Memori di kepalanya saling berdesakan mengingat siapa anak perempuan di depannya.
"Aku akan membantumu sembuh, Ang."
Pak Sam dan Bu Sam diam-diam mengintip dari balik pintu. Mereka merasa heran dengan reaksi Aang yang tidak mengamuk seperti biasa. Suami istri itu saling bersi tatap.
"Apa yang dilakukan Tum sampai bisa membuat Aang tidak berkutik seperti itu?" Bu Sam berbisik-bisik ke suaminya.
"Entahlah. Aku juga merasa heran." Pak Sam memberi tanggapan.
Tum melepas tangannya. Tiba-tiba, tangan Aang menggenggam lengannya kuat-kuat.
"Aduh, Ang. Kalau seperti ini, kamu menyakitiku," desis Tum. "Lepaskanlah. Besok-besok aku janji akan datang lagi menjengukmu."
Tum bisa mengartikan, bahwa sahabatnya itu tidak mau ditinggal. Begitu Tum keluar dari kamar pengap dan minim cahaya itu, buru-buru Bu Sam menguncinya.