Tum

Ais Aisih
Chapter #31

Seorang Nenek Asing

Tum ingin menghirup angin segar di luar rumah. Pilihan terbaik selalu jatuh di bawah pohon belimbing. Namun, tempat itu rupanya sudah dikuasai oleh Kakek dan Trias.

Tum sedikit cemburu karena Kakek tidak pernah mengajaknya bermain. Malah seringnya sama Trias. 

"Kek, sedang apa?" 

Kakek yang sedang memangku Trias menoleh. 

"Eh, Tum, kemarilah!" Kakek menepuk-nepuk rumput di dekatnya, meminta Tum duduk. 

Trias langsung kabur begitu melihat sang kakak menghampiri mereka. 

"Trias, mau ke mana?" tanya Kakek. 

Trias tidak menjawab. Anak itu memang irit sekali bicara. Tidak heran kalau banyak orang mengira Trias bisu. 

"Kek, aku ingin bertanya sesuatu, boleh?" 

"Tumben sekali. Biasanya kau suka curhat sama nenekmu." Kakek terkekeh. 

"Nenek lagi sibuk di kebun. Sekarang ini, aku inginnya sama Kakek. Tapi Kakek kalau nggak mau denger nggak papa. Toh, Kakek sayangnya cuman sama Trias." Tum menekuk bibir kesal. Ia mulai berani menunjukkan perasaan irinya. 

"Cucuku ... cucuku. Pola tingkahmu sangat lucu. Kelak jadilah pelawak terkenal." Kakek tertawa. "Bicaralah, aku akan mendengarkanmu."

"Kek, apa Kakek percaya kalau di dunia ini ada dua alam?" 

Kakek mengerutkan kening. Selalu saja ajaib pertanyaan yang dilontarkan Tum. Inilah alasan Kakek tidak mau berlama-lama ngobrol sama cucunya yang satu itu. Alam pikiran Tum mempunyai jangkauan amat luas.

"Tum, di dunia ini mungkin bukan hanya ada dua alam. Tapi ada banyak. Hanya saja kita tidak tahu, ada alam apa saja."

"Kakek pernah pergi ke alam lain?"

Kakek tertawa, gigi depannya terlihat ada yang sudah tanggal. "Pernah."

"Eh?"

"Pergi ke alam mimpi." Kakek tertawa lagi. 

Tum mengerucutkan bibir. Ia ingin mendengar jawaban yang serius.

"Loh bener to? Kalau kita tidur, roh kita pergi ke alam mimpi? Konon katanya sih begitu, Tum." Kakek menjawab dengan tidak yakin. 

Tum membisu. Dalam diam, otaknya berpikir. Apa yang Tum alami akhir-akhir ini, semua terasa nyata. Ia tidak tahu bagaimana cara pergi ke alam lain, tapi tiba-tiba saja ia ada di sana. Ia juga ingin mengutarakan isi hatinya kepada orang-orang terdekat. Namun, rasanya tidak ada yang akan bisa memahami.

Tum seperti biasa merenung di kamar. Pikirannya jalan-jalan ke mana saja. Ulan muncul di waktu yang tepat.

"Tum, jangan terlalu banyak melamun. Nanti dibawa komplotan iblis, loh." Ulan meledek. 

"Eh?"

"Aku hanya bercanda."

"Ulan, apakah Mbah Nurah yang dulu menolong Bu Giyah waktu melahirkan Nida di selokan dekat Karang Cina?" Tum ingat tentang isu itu. Banyak yang bilang, Bu Giyah bisa melahirkan di selokan berkat pertolongan arwah leluhur. Ia juga orang pertama yang melihat Bu Giyah membawa bayinya dengan tubuh bersimbah darah.

"Kau benar, Tum. Bukan hanya Bu Giyah yang beliau tolong. Setiap orang baik pasti akan mendapat pertolongannya kalau kejadiannya masih dekat Karang Cina." 

"Aku mengerti sekarang. Berarti kemungkinan besar Mbah Nurah adalah leluhur yang menurunkan kesaktian padaku. Bukan begitu?" 

"Hmm, bagaimana cara aku memberitahumu?" Ulan memikirkan kalimat yang mudah untuk disampaikan. 

"Begini, Tum, terkadang leluhur yang memberi kita kekuatan itu masih ada keturunan atau ikatan darah dengan kita. Usia Mbah Nurah sudah sangat tua. Sulit untuk tahu siapa saja yang memiliki garis keturunan dengannya." Ulan memperhatikan Tum, ia berharap anak itu mengerti maksudnya.

"Ya, ya. Aku paham sekarang. Aku hanya penasaran siapa leluhurku."

"Syukurlah. Tum, bolehkah aku minta tolong padamu?"

"Minta tolong padaku? Bukankah kamu bisa melakukan segalanya dengan kekuatan yang kamu miliki?" Tum merasa heran. Apa yang bisa dilakukannya untuk menolong seorang jin?

"Bukan begitu, Tum. Aku hanya minta pertemuan kita jangan sampai ada yang tahu. Sejak lepas dari Mina, aku sudah tidak pernah memasuki raga manusia lagi. Biarlah aku menampakkan diri hanya di depan orang-orang yang sedang memiliki kepentingan untuk kubantu." 

"Kupikir minta tolong apa. Baiklah, hal itu tidak akan bocor." Tum melakukan gerakan mengunci mulut. 

"Ngomong-ngomong, apakah teman-temanku sudah bisa diselamatkan?" 

Ulan tersenyum.

"Aku yakin kau akan bertanya seperti itu. Untuk itulah aku datang padamu. Aku ingin menyampaikan pesan dari Mbah Nurah." 

"Apa itu?" Tum sangat antusias dan tidak sabaran mendengar pesan tersebut. 

"Mbah Nurah memintamu untuk tirakat mengosongkan perut selama tujuh hari."

"Maksudmu aku harus berpuasa?" 

"Ya. Karena puasa cara menangkal hawa nafsu yang bisa menghancurkan iblis."

"Itu saja?"

"Yang kedua, kau harus bersedekah dengan seekor ayam bagi seorang fakir. Boleh ayam apa saja."

Syarat kedua cukup berat bagi Tum. Ia tidak tahu di mana tempat membeli ayam, harus kepada siapa ia menyedekahkannya. Saat hendak bertanya kepada Ulan, tiba-tiba jin itu sudah menghilang. 

***

Lihat selengkapnya